Hubungan Stigma Sosial Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dengan Anak Berkebutuhan Khusus

VOKASI NEWS – Penelitian tentang hubungan stigma sosial dengan tingkat kecemasan ibu dengan anak berkebutuhan khusus yang terjadi di masyarakat.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) itu tidak seperti anak normal pada umumnya (Purwanta, 2005). Mereka mudah dikenali karena memiliki kelainan atau penyimpangan yang signifikan. Kelainan itu terlihat pada proses pertumbuhan dan perkembangannya, baik secara fisik maupun emosional jika dibandingkan dengan anak-anak sebayanya (Deskriptif et al, 2012) . Selain itu, ABK cenderung melakukan sesuatu hal semaunya dan sesuka hatinya. Sehingga, perilaku yang ditunjukkan sulit ditebak dan tidak terkontrol (Rakhmania, 2019). Hal ini yang membuat keluarga dari ABK merasa memiliki tanggungan yang lebih besar dalam merawat anaknya (Wulandari, Soeharto, Setyoadi, 2016). 

Berdasarkan BPS, 2020 Indonesia diperoleh penyandang disabilitas mencapai 22,5 juta atau 5% dari total penduduk di Indonesia. Provinsi Jawa Timur, menduduki urutan kedua sebesar 22.341 orang. Berdasarkan dari data Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial (Kemensos, 2018). Kabupaten Gresik mencapai 498 jiwa penyandang disabilitas berdasarkan Badan Pusat Statistik Jawa Timur 2019. Menurut data pokok SLB Negeri Cerme 2023/2024, total jumlah siswa sebesar 77 siswa. Terdiri dari 46 siswa laki-laki dan 32 siswa perempuan.

Bagaimana Keadaan Anak Berkebutuhan Khusus di Lingkungan Sosial?

Pada kehidupan bersosial Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sering tidak mendapatkan keadilan terhadap hak-hak yang dimilikinya. Pihak keluarga (ABK) merasa takut dan malu terhadap stigma yang ada di masyarakat. Stigma dan pandangan negatif yang diberikan masyarakat terhadap ABK ini terus tumbuh dan dapat merugikan. Bahkan dapat memperburuk kondisi anak berkebutuhan khusus (Purnama,Yani, Sutini, 2016). Hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat stigmatisasi ibu terhadap anaknya sehingga menimbulkan reaksi emosional berupa kecemasan. Salah satu bentuk kecemasan ibu, antara lain yaitu merasa khawatir akan masa depan anaknya. Hubungan sosial yang tidak akrab dengan lingkungan sekitar (Chadwick dalam Rajan, Srikhrisna, & Romate 2016).

Stigma yang tertanam pada ABK tidaklah dapat dihilangkan. Namun, stigma tersebut dapat kita ubah dari stigma negatif menjadi stigma yang jauh lebih positif. Masyarakat perlu mengetahui bahwa ABK juga dapat melakukan sesuatu dengan mandiri layaknya anak normal tanpa membahayakan dirinya serta orang lain. Salah satu solusi bagi orang tua adalah memberikan pendidikan atau sekolah sesuai dengan usia yang dimiliki ABK. Selain itu, upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan penyuluhan mengenai pemahaman tentang kondisi ABK dan pentingnya pemenuhan hak-hak ABK. Dengan adanya pengetahuan mendalam mengenai ABK, masyarakat diharapkan dapat merubah pandangan negatif terhadap ABK dan dapat memperlakukan ABK selayaknya seperti anak-anak normal pada umumnya. 

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – Mei 2024 di SLB Negeri Cerme . Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang anaknya bersekolah di SLB Negeri Cerme, Gresik. Hasil penelitian populasi yang berjumlah 116 responden dan sampel pada penelitian ini sebesar 54 responden. Adapun metode sampling yang digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik purposie sampling. Pengambilan data dilakukan menggunakan kuisioner Internalized Stigma Of Mental Ilness (ISMI) yang berisi 24 pertanyaan. Kemudian, kuisioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) berisi 14 pertanyaan.

BACA JUGA : Pentingnya Mengetahui Hubungan Usia, Masa Kerja, Dan Beban Kerja Fisik Dengan Kelelahan Kerja

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden merupakan ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan tidak merasakan stigma sebanyak 12 responden (22,2%). Stigma rendah sebanyak 22 responden (40,7%). Stigma sedang sebanyak 19 responden (35,2%). Dan yang terakhir, stigma berat sebanyak 1 responden (1,9%).

Dari 54 responden yang memiliki anak berkebutuhan khusus, sebanyak 7 responden (13,0%) merupakan ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan tidak memiliki kecemasan. Tingkat kecemasan ringan sebanyak 16 responden (29,6%). Lalu, tingkat kecemasan sedang sebanyak 24 responden (44,4% ). Tingkat kecemasan berat sebanyak 6 responden (11,1%) dan dengan serangan panik sebanyak 1 responden (1,9%). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat stigma pada ibu, maka akan semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami.

Kesimpulan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan stigma sosial dengan tingkat kecemasan pada ibu dengan anak berkebutuhan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat stigma pada ibu maka semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami.

***

Penulis : Adhel Asrianto Putri

Editor : Fatikah Rachmadianty