VOKASI NEWS – Villa Kemarang Banyuwangi memadukan akomodasi, Tari Gandrung, dan kuliner lokal sebagai strategi promosi wisata berbasis budaya yang berkelanjutan.
Industri perhotelan terus beradaptasi mengikuti perubahan pola perjalanan dan kebutuhan wisatawan. Akomodasi kini tidak lagi dipahami semata sebagai tempat bermalam, tetapi menjadi bagian dari pengalaman perjalanan yang utuh. Pendekatan tersebut terlihat dalam kegiatan edu-visit mahasiswa Program Studi D4 Manajemen Perhotelan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga ke Villa Kemarang Banyuwangi pada 22 November 2025.
Villa Kemarang berdiri di kawasan dataran tinggi Banyuwangi dengan udara relatif sejuk dan suasana yang tenang. Lokasinya memberikan akses yang cukup dekat ke sejumlah destinasi alam, termasuk kawasan Gunung Ijen. Lanskap pegunungan dan ruang hijau di sekitarnya mendukung konsep akomodasi yang privat dan nyaman, terutama bagi wisatawan yang ingin beristirahat dari kepadatan perkotaan. Selain menawarkan fasilitas menginap, pengelola menghadirkan pengalaman berbasis budaya sebagai bagian dari layanan kepada tamu.
Tari Gandrung dan Identitas Budaya Using
Villa Kemarang secara rutin menampilkan Tari Gandrung pada akhir pekan sebagai atraksi budaya. Pertunjukan ini berfungsi sebagai media pengenalan identitas Banyuwangi kepada wisatawan. Tari Gandrung merepresentasikan nilai cinta yang dimaknai secara luas oleh masyarakat Using, mulai dari hubungan dengan Tuhan, alam, keluarga, hingga penghormatan terhadap seni dan tradisi lokal.
Sejarah Tari Gandrung menunjukkan perjalanan panjang yang berkaitan dengan dinamika sosial masyarakat Blambangan. Pada masa awal kemunculannya, tarian ini dibawakan oleh penari laki-laki. Sosok Gandrung Marsan dikenal sebagai figur legendaris dalam periode tersebut. Perubahan terjadi pada 1895 dengan hadirnya Mbah Semi dari wilayah Jogopati sebagai penari perempuan pertama. Sejak masa itu, Gandrung lebih sering ditampilkan oleh penari perempuan seperti yang dikenal saat ini.
Perkembangan Tari Gandrung juga tidak terlepas dari peristiwa sejarah, termasuk Perang Puputan Bayu tahun 1771 yang berdampak besar pada populasi masyarakat Using. Nilai sejarah tersebut menjadikan Gandrung tidak hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi juga simbol ketahanan budaya yang terus dijaga lintas generasi. Joko, pemeran utama Tari Gandrung di Villa Kemarang, menjelaskan bahwa istilah “gandrung” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang bermakna cinta atau melas asih, serta berkaitan erat dengan perjalanan panjang masyarakat Blambangan.
“Gandrung, ya. Kalau dilihat dari bahasa, kata gandrung berasal dari istilah Jawa Kuno, bahkan ada yang menyebut dari Sanskerta. Gandrung itu artinya cinta. Orang Banyuwangi bilang melas asih. Dulu Gandrung itu penarinya laki-laki. Ada satu tokoh legendaris yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu Gandrung Marsan. Beliau penari gandrung laki-laki yang melegenda. Kemudian dalam catatan sejarah yang saya baca, pada tahun 1895 lahir sosok bernama Mbak Semi. Beliau berasal dari daerah Jogopati. Mbak Semi ini dikenal sebagai penari gandrung perempuan pertama. Jadi sejak masa itu, gandrung mulai dibawakan oleh perempuan. Sejarah ini juga berkaitan dengan masa perjuangan panjang rakyat Blambangan, misalnya peristiwa Perang Puputan Bayu pada tahun 1771.” Ujar Joko Pemeran utama Tari Gandrung Villa Kemarang.
Promosi Wisata Melalui Pengalaman Kuliner dan Seni
Pengelolaan pertunjukan Gandrung di Villa Kemarang didukung oleh penari dengan kualifikasi khusus. Penari dituntut mampu menari sekaligus menyanyi karena kedua unsur tersebut menjadi satu kesatuan dalam pertunjukan. Eka, salah satu pelayan di Villa Kemarang, menyampaikan bahwa konsistensi latihan merupakan syarat utama agar kualitas pertunjukan tetap terjaga. Ritual tertentu juga masih dilakukan untuk menjaga kualitas vokal penari.
Atraksi budaya tersebut dipadukan dengan strategi promosi bertajuk “Dinner with Live Tari Gandrung” di Warung Kemarang. Konsep makan malam dengan pertunjukan langsung ini menarik minat pengunjung, baik masyarakat lokal maupun wisatawan. Husaini, pemain musik Tari Gandrung, menyebutkan bahwa jumlah reservasi cenderung meningkat setiap akhir pekan karena pertunjukan dapat dinikmati tanpa biaya tambahan.
[BACA JUGA: ACDH 2025: Fakultas Vokasi UNAIR Dukung Deteksi Dini Anemia Ibu Hamil di Gili Iyang]
Menu yang disajikan meliputi pilihan ala carte hingga buffet dengan menonjolkan kuliner khas Banyuwangi seperti Sego Tempong dan Rujak Soto. Pendekatan ini memperkuat identitas lokal sekaligus mendukung pelaku usaha kuliner setempat. Dari sisi keberlanjutan, strategi tersebut sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya pertumbuhan ekonomi lokal, pelestarian budaya, serta pemanfaatan bahan pangan lokal secara bertanggung jawab.
Kegiatan ini di dampingi oleh para dosen, yang terdiri dari Kepala Prodi D4 Manajemen Perhotelan Bapak Jiwangga Hadi Nata, S.E, M.SM., CHE; dan dosen lainnya yaitu Prof. Dr. Bambang Suharto S.ST., M.M.Par dan Ibu Nur Emma Suriani, S.Sos, M.Si
***
Penulis: Barley Samuel Wibowo, Sabrina Dwi Damayanti, Shafira Amariely
Editor: Fatikah Rachmadianty



