Benarkah Motivasi Belanja Hedonis dan Gaya Hidup Berbelanja Mendorong Mahasiswa Berbelanja Impulsif?

Benarkah Motivasi Belanja Hedonis dan Gaya Hidup Berbelanja Mendorong Mahasiswa Berbelanja Impulsif?_AI

VOKASI NEWS – Studi ini membahas pengaruh motivasi belanja hedonis dan gaya hidup konsumtif terhadap perilaku belanja impulsif di kalangan mahasiswa.

Tren Belanja Digital Meningkat di Kalangan Mahasiswa

Perkembangan teknologi digital, khususnya e-commerce, telah mengubah cara mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belanja tidak lagi harus dilakukan secara fisik, melainkan cukup melalui perangkat mobile yang terkoneksi internet. Dalam lingkungan kampus, perubahan ini terasa sangat cepat. Mahasiswa kini terbiasa menjelajahi katalog produk sambil menunggu kelas, memanfaatkan promo di jam istirahat, atau bahkan berbelanja larut malam saat mengalami kesulitan tidur.

Kemudahan akses, sistem pembayaran yang fleksibel seperti e-wallet, paylater, hingga free ongkir, serta tampilan aplikasi yang user-friendly, membuat aktivitas belanja online menjadi kebiasaan yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas ini tidak hanya sebatas transaksi kebutuhan, tetapi berkembang menjadi gaya hidup digital yang kompleks diwarnai oleh elemen emosional, sosial, dan simbolik.

Desain sistem e-commerce pun secara psikologis dibuat untuk menstimulus reaksi cepat dan keputusan impulsif. Notifikasi diskon, countdown timer untuk flash sale, hingga strategi scarcity seperti “stok terbatas” menciptakan ilusi urgensi. Mahasiswa yang berada dalam fase eksplorasi diri dan pencarian identitas lebih rentan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut, terutama saat berada dalam kondisi mental yang tidak stabil seperti stres akademik, kelelahan, atau rasa bosan.

Motivasi Belanja Hedonis

Motivasi hedonis merupakan dorongan untuk berbelanja demi mengejar kesenangan dan kenikmatan emosional. Dalam konteks ini, belanja bukan sekadar memenuhi kebutuhan, melainkan menjadi cara untuk meningkatkan suasana hati, mencari distraksi dari tekanan, bahkan bentuk “self-reward” setelah menyelesaikan tugas kuliah.

Mahasiswa yang memiliki dorongan hedonis tinggi cenderung lebih menikmati proses belanja dibanding hasilnya. Aktivitas seperti scrolling katalog, membandingkan warna dan ukuran produk, membaca ulasan, hingga menantikan paket datang, memberikan sensasi menyenangkan yang memicu hormon dopamin. Tidak heran jika pembelian yang dilakukan sering kali spontan dan tidak terencana, hanya demi mengisi kekosongan emosional.

Gaya Hidup Berbelanja

Selain motivasi hedonis, gaya hidup konsumtif yang terbentuk dari lingkungan sosial dan paparan media digital juga menjadi faktor pendorong. Mahasiswa sering terpapar konten di media sosial seperti TikTok, Instagram, atau YouTube yang menampilkan haul belanja, unboxing, hingga lifestyle influencer yang mempromosikan gaya hidup penuh konsumsi. Hal ini secara tidak langsung menciptakan standar sosial bahwa mengikuti tren dan memiliki barang-barang tertentu adalah bentuk eksistensi diri.

Keinginan untuk tampil sesuai dengan tren dan mendapatkan validasi sosial membuat mahasiswa cenderung mengikuti arus konsumsi, bahkan jika itu bertentangan dengan kondisi keuangan mereka. Belanja impulsif menjadi bentuk ekspresi diri, ajang aktualisasi, hingga cara untuk merasa “tidak tertinggal” dari lingkungan sekitar.

Kontrol Diri dan Edukasi Konsumen Muda

Untuk menghindari jebakan konsumsi impulsif, perlu adanya kesadaran dan pengendalian diri yang kuat di kalangan mahasiswa. Literasi keuangan menjadi langkah awal yang penting. Mahasiswa perlu dibekali pemahaman tentang cara mengelola anggaran, membedakan kebutuhan dan keinginan, serta menyusun rencana belanja yang realistis. Kesadaran ini tidak hanya mencegah pemborosan, tetapi juga melatih kedisiplinan finansial sejak usia muda.

Pengendalian diri dalam konteks digital juga tidak kalah penting. Mengurangi paparan dari konten belanja online, membatasi waktu penggunaan aplikasi e-commerce, dan menunda pembelian selama 24 jam adalah strategi sederhana namun efektif untuk menghindari keputusan impulsif. Selain itu, membuat daftar kebutuhan dan menetapkan batas maksimal pengeluaran bulanan dapat membantu menciptakan kebiasaan konsumsi yang lebih rasional.

Edukasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pribadi, tetapi juga harus didukung oleh sistem dan pelaku industri. Platform e-commerce dapat berperan lebih aktif dengan menghadirkan fitur-fitur pendukung seperti peringatan anggaran, histori belanja mingguan, atau penanda produk impulsif. Selain itu, kampus dan lembaga pendidikan juga bisa memberikan seminar atau pelatihan terkait manajemen keuangan digital yang kontekstual bagi mahasiswa.

[BACA JUGA: Strategi Efektif Pengelolaan Piutang Usaha]

Fenomena belanja impulsif di kalangan mahasiswa merupakan hasil interaksi kompleks antara dorongan emosional, pengaruh sosial, dan kemudahan teknologi digital. Motivasi belanja hedonis dan gaya hidup konsumtif terbukti menjadi dua faktor utama yang memperkuat kecenderungan tersebut. Meskipun aktivitas belanja dapat menjadi sumber kesenangan, penting bagi mahasiswa untuk menyadari risiko finansial dan psikologis yang mungkin timbul.

Dengan edukasi yang tepat dan sistem pendukung yang bijak, mahasiswa dapat belajar mengelola dorongan impulsif, mengembangkan kebiasaan finansial yang sehat, serta membangun kesadaran konsumsi yang lebih bertanggung jawab dalam ekosistem digital yang terus berkembang.

***

Penulis: Salsabila Febriyanti Nababan

Pembimbing: Andi Estetiono

Program Studi: D4 Perbankan dan Keuangan

Editor: Fatikah Rachmadianty