Fenomena Looksmaxing: Perawatan Diri atau Ilusi Kesempurnaan?

VOKASI NEWS – Fenomena looksmaxing sebagai bentuk perawatan diri, atau bisa juga sebagai bagian dari ilusi kesempurnaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep looksmaxing semakin populer di kalangan mereka yang ingin meningkatkan daya tarik fisik. Istilah ini berasal dari gabungan “looks” (penampilan) dan “maxing” (maksimal), yang merujuk pada upaya memperbaiki estetika diri melalui berbagai metode. Perawatan kulit, latihan kebugaran, pemilihan gaya berpakaian, hingga prosedur bedah kosmetik menjadi bagian dari praktik ini.

Di era media sosial, standar kecantikan semakin tinggi, mendorong individu untuk mencari cara agar terlihat lebih menarik. Banyak influencer membagikan tips looksmaxing dengan pendekatan ilmiah, memberikan panduan bagi mereka yang ingin meningkatkan kepercayaan diri tanpa harus menempuh langkah ekstrem. Namun, tren ini juga memiliki sisi gelap yang kerap dikaitkan dengan komunitas blackpill.

Keterkaitan Looksmaxing dengan Blackpill

Konsep blackpill muncul dari teori redpill dalam komunitas online yang membahas dinamika sosial antara pria dan wanita. Jika redpill menekankan strategi sosial dalam menjalin hubungan, blackpill justru lebih fatalistik. Komunitas ini meyakini bahwa daya tarik fisik ditentukan oleh genetika dan sulit diubah secara signifikan.

Di dalam forum blackpill, looksmaxing kerap dipandang sebagai upaya yang hanya efektif bagi individu dengan dasar genetika yang baik. Mereka yang dianggap memiliki fitur wajah kurang menarik sering kali disebut sebagai “sub5″—istilah yang merujuk pada individu dengan daya tarik di bawah rata-rata. Akibatnya, banyak anggota komunitas ini merasa terjebak dalam pemikiran pesimistis yang justru menghambat perkembangan diri.

Dampak Positif dan Negatif Looksmaxing

Looksmaxing memiliki manfaat bagi banyak orang, terutama dalam meningkatkan kepercayaan diri dan kesejahteraan mental. Melalui pola hidup sehat, perawatan kulit, dan pemilihan gaya yang sesuai, seseorang dapat merasa lebih nyaman dengan dirinya sendiri. Sayangnya, tren ini juga memunculkan tekanan sosial yang dapat berujung pada ketidakpuasan terhadap diri sendiri.

Dalam lingkungan yang toksik, looksmaxing berubah menjadi obsesi yang mendorong individu untuk menjalani prosedur ekstrem demi memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis. Tidak sedikit yang merasa tertekan akibat ekspektasi berlebihan dari komunitas yang menuntut kesempurnaan fisik tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti kepribadian dan kesehatan mental.

Kesimpulan: Looksmaxing sebagai Alat, Bukan Kewajiban

Looksmaxing dapat menjadi alat yang bermanfaat jika dilakukan dengan pendekatan yang sehat dan realistis. Perbaikan fisik sebaiknya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sekadar memenuhi ekspektasi orang lain. Kesadaran akan batasan diri serta dukungan dari lingkungan yang positif sangat diperlukan agar tren ini tidak berubah menjadi tekanan sosial yang merugikan.

[BACA JUGA: Insan Kampus Berkontribusi untuk Negeri: Dialog Inspiratif Dekan Vokasi UNAIR di Radio Suara Muslim]

Menjadikan looksmaxing sebagai sarana pengembangan diri tanpa terjebak dalam obsesi estetika adalah langkah yang lebih bijak. Pada akhirnya, kebahagiaan sejati tidak hanya ditentukan oleh penampilan fisik, tetapi juga oleh kesejahteraan mental dan kualitas hubungan sosial.

***

Penulis: Willy Naufal Fawwaz

Pembimbing: Sidarta Prassetyo, M.A.TESOL

Prodi: D3 Bahasa Inggris

Editor: Oky Sapto Mugi Saputro – Tim Branding Fakultas Vokasi UNAIR