Glukosa Darah dan Skala BTA pada Pasien Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus yang Menjalani Terapi

VOKASI NEWS – Tuberkulosis (TBC) dan Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang saling berkaitan dan memiliki hubungan erat. Kehadiran salah satu penyakit tersebut dapat mempengaruhi lainnya secara signifikan. Apabila pasien diabetes melitus mengalami penurunan imun, maka akan rentan terhadap infeksi seperti tuberkulosis. Infeksi tersebut dapat meningkatkan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus. 

Mengenal Tuberkulosis

Tuberkulosis atau TBC merupakan penyakit menular yang diakibatkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang mampu menyerang paru-paru serta organ lainnya (Susanto et al., 2017). Berdasarkan data, terdapat 30 negara dengan beban TBC tinggi yang menyumbang 87% kasus TBC di dunia pada tahun 2022. Negara yang menyumbang presentase tebesar adalah India (27%), Indonesia (10%), Tiongkok (7.1%), Filipina ( 7,0%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,5%), Bangladesh (3,6%) dan Kongo (3,0%) (WHO, 2023). Indonesia termasuk dalam urutan kedua negara dengan penyakit Tuberkulosis tertinggi di dunia. Kasus Tuberkulosis diperkirakan mencapai lebih dari 724.000 pada tahun 2022 dan meningkat menjadi 809.000 kasus pada tahun 2023 (Kemenkes, 2024).  Penyakit Tuberkulosis menjadi salah satu dari lima penyebab utama beban penyakit pada tahun 2017. Selain itu Tuberkulosis memiliki faktor risiko diabetes melitus (DM) dan menjadi penyumbang beban penyakit ketiga terbesar  di Indonesia berdasarkan rancangan teknokraktik RPJMN 2020-2024 (Gani & Budiharsana, 2019; Kemenkes RI, 2020). 

Mengenal Diabetes Melitus 

Diabetes melitus (DM) adalah suatu gangguan metabolik menahun dengan ciri khas meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Penyebab penyakit ini adalah kurangnya hormon insulin yang diproduksi pankreas. Diabetes melitus juga bisa disebabkan oleh tubuh yang tidak dapat memanfaatkan hormon insulin dengan baik (PUSDATIN Kemenkes RI, 2019). Menurut Global Tuberculosis Report Tahun 2021 oleh WHO, orang dengan penyakit diabetes melitus 2-3 kali lebih tinggi berisiko terinfeksi Tuberkulosis.

BACA JUGA: https://vokasi.unair.ac.id/anemia-menjadi-salah-satu-komplikasi-yang-kerap-dialami-pasien-gagal-ginjal-kronik/

Hasil

Pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus diberikan terapi sesuai dengan panduan. Mulai dari dosis, jangka pemakaian, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien TB dengan DM merupakan pasien dengan usia produktif. Usia produktif berkaitan erat dengan aktivitas seseorang seperti tingginya frekuensi berpergian, jenis pekerjaan, kondisi lingkungan, dan kontak sosial yang erat. Berdasarkan penelitian ini, diketahui jenis kelamin laki-laki lebih mendominasi dibandingkan perempuan. Penyebabnya sering dikaitkan oleh kebiasaan buruk laki-laki, seperti merokok dan alkoholisme. 

Apabila selesai menjalani terapi hiperglikemia, pasien TB dengan DM menunjukkan penurunan glukosa darah secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi yang dijalani bekerja dengan efektif. Pada paramater skala BTA (Bakteri Tahan Asam) menunjukkan konversi skala BTA dari seluruh sampel menjadi lebih kecil atau negatif. Namun masih terdapat pasien dengan skala BTA positif setelah menjalani terapi, hal tersebut disebabkan oleh resistensi obat anti tuberkulosis. Dengan demikian, terapi tuberkulosis ini dinilai efektif namun perlu ditinjau kembali panduan meminum obat agar pengobatan menjadi maksimal.***

Penulis: Herstita Marullia Rahali

Editor: Galuh Candrawati