VOKASI NEWS – Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dapat menular ke orang lain melalui droplet dahak di udara dari penderita TB paru yang positif bakteri tahan asam (BTA).
Menurut World Health Organization (WHO) pada Global Tuberculosis Report 2023, penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian terbesar kedua setelah Corona Virus Disease 19 (COVID-19). Pada tahun 2022 diperkirakan seperempat dari penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. World Health Organization (2023) juga menyatakan bahwa tahun 2022 terdapat 30 negara sebagai high burden countries terhadap tuberkulosis, termasuk Indonesia yang menduduki urutan kedua setelah India dengan menyumbangkan sebesar 10% dari 87% total kasus di dunia.
Di Indonesia sendiri kasus TB paru mengalami peningkatan pada tahun 2020-2021 dengan jumlah kasus sebanyak 969.000 pada tahun 2021. Jumlah tersebut meningkat sekitar 18% dibandingkan pada tahun 2020. Angka kematian akibat penyakit TB ini diperkirakan mengalami peningkatan 55% dari 93.000 penduduk pada tahun 2020. Kemudian menjadi 144.000 penduduk pada tahun 2021. Beberapa provinsi besar seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat merupakan penyumbang kasus TB tertinggi di Indonesia. Sebanyak 78.799 kasus TB paru ditemukan di Jawa Timur pada tahun 2022 (Dinkes Jatim, 2022).
Hubungan TB paru dengan Hiperurisemia
Sebagian besar penderita TB paru berhasil sembuh setelah mengonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT) yang dilakukan dalam dua tahapan, yaitu pengobatan intensif dan pengobatan lanjutan. Pada tahap pengobatan intensif pasien diharuskan mengonsumsi OAT setiap hari selama 2 bulan dan diawasi secara langsung. Obat anti tuberkulosis yang dikonsumsi pada tahap intensif terdiri dari 4 kombinasi dosis tetap (KDT) yaitu rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), dan etambutol (E) (Ningsih et al., 2022). Pada tahap pengobatan lanjutan diharuskan mengonsumsi OAT selama 4 bulan sampai dinyatakan berhasil.
Konsumsi obat kombinasi dalam jangka waktu yang panjang dapat memberikan efek samping bagi penderita TB paru. Salah satu efek sampingnya yaitu gangguan fungsi ginjal. Fungsi ginjal adalah sebagai jalur ekskresi obligatorik untuk sebagian besar obat, sehingga sangat sensitif terhadap obat-obatan dan bahan kimia (Risma & Rahman, 2020).
Salah satu parameter pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis gangguan fungsi ginjal yaitu asam urat. Asam urat merupakan zat hasil metabolisme di dalam tubuh yang harus dikeluarkan melalui ginjal. Kadar asam urat yang tinggi atau hiperurisemia tidak akan mempengaruhi efektivitas OAT dalam membunuh bakteri. Namun hiperurisemia dapat menyebabkan gangguan lain seperti gout. Peningkatan kadar asam urat pada penderita TB paru lebih tinggi pada obat kombinasi pirazinamid dan etambutol dibandingkan dengan pemberian pirazinamid atau etambutol saja. Pirazinamid dan etambutol bekerja dengan cara pertukaran ion di tubulus ginjal yang mengakibatkan reabsorpsi asam urat berlebih sehingga dapat terjadi hiperurisemia. Peningkatan kadar asam urat sebagian besar terjadi pada tahap pengobatan intensif (2 bulan) dikarenakan pada tahap ini menggunakan dosis obat 2x lebih banyak daripada tahap lanjutan di mana pasien diharuskan mengonsumsi 4 jenis obat yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol (Pitono et al., 2021).
Penelitian Kadar Asam Urat pada Penderita TB Paru Masa Pengobatan Intensif
Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Mei 2024 di RSUD Jombang dengan metode pengambilan data menggunakan metode purposive sampling. Total data sebanyak 50 pasien yang telah terdiagnosis TB paru dan akan menjalani atau sedang menjalani pengobatan intensif serta menyetujui Informed Consent untuk dilakukan pemeriksaan asam urat. Pemeriksaan asam urat dilakukan menggunakan metode Point of Care Testing. Nilai rujukan asam urat yaitu 3,5 – 7,7 mg/dL pada laki-laki dan 2 – 6 mg/dL pada perempuan.
BACA JUGA: Pengaruh Indeks Massa Tubuh terhadap Kelincahan dalam Olahraga Basket
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 pasien, kejadian TB paru paling banyak pada laki-laki sebanyak 34 pasien (68%). Kemudian kelompok usia 17 – 31 tahun sebanyak 17 pasien (34%). Penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 25 pasien (50%) laki-laki dan 15 pasien (30%) perempuan mengalami hiperurisemia. Berdasarkan usia, hampir semua pasien TB paru dari semua kalompok usia mengalami hiperurisemia.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagian besar pasien TB paru masa pengobatan intensif adalah berjenis kelamin laki-laki. Lalu, sebagian besar pasien mengalami peningkatan kadar asam urat atau hiperurisemia. Dengan ini diharapkan pasien TB paru lebih mengontrol kadar asam urat dengan mengurangi makanan yang mengandung purin. Untuk pemerintah dan masyarakat lainnya diharapkan dapat mengupayakan untuk menanggulangi kejadian TB paru.
***
Penulis: Meyrinda Zaimatun Nisak
Editor: Fatikah Rachmadianty