VOKASI NEWS – Salah satu jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang memiliki cakupan cukup luas dan menyentuh sebagian besar lapisan masyarakat khususnya yang memiliki penghasilan. Hal ini sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Pajak tersebut dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21 yang terdiri dari: pemberi kerja; bendahara atau pemegang kas pemerintah; dana pensiun. Selain itu juga termasuk badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. Bisa juga termasuk orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan; penyelenggara kegiatan.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
Untuk memudahkan pemotongan rutin, pemerintah memperkenalkan tarif efektif rata-rata (TER) yang berlaku selama Januari–November, dengan kategori berdasarkan PTKP:
- Kategori A: TK/0, TK/1, K/0
- Kategori B: TK/2, TK/3, K/1, K/2
- Kategori C: K/3
- Untuk pegawai tidak tetap, berlaku tarif TER harian (0% hingga 0,5%), tergantung rata-rata penghasilan harian
Tarif TER ini bersifat bertingkat, dimulai dari 0 % untuk penghasilan rendah hingga maksimal ~34 % untuk penghasilan sangat tinggi. Namun, Di masa pajak Desember, perhitungan kembali menggunakan tarif progresif tahunan sesuai Pasal 17. Tarif progresif sesuai dengan Pasal 17 Undang – Undang Pajak Penghasilan: Rp 0 – Rp 60 juta, tarif 5%
- Rp 60 – Rp 250 juta, tarif 15%
- Rp 250 – Rp 500 juta, tarif 25%
- Rp 500 juta – Rp 5 miliar, tarif 30%
Di atas Rp 5 miliar, tarif 35%
Penyebab Kesalahan Pengenaan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
Beberapa penyebab yang umum terjadi kesalahan pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 antara lain:
- Kurangnya pemahaman Peraturan Perpajakan, perusahaan biasanya kurang dalam memahami peraturan yang diterbitkan.
- Penggunaan Tarif Lama atau Tidak Update, Perusahaan masih menggunakan tarif lama, padahal ada ketentuan baru yang mengubah lapisan dan tarif.
- Sistem Penggajian atau Payroll yang Tidak Diperbarui, Sistem payroll belum mengikuti aturan terbaru atau tidak dikonfigurasi dengan benar.
Dampak dari Kesalahan Pengenaan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
Berikut adalah beberapa dampak dari kesalahan pengenaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang perlu diperhatikan oleh perusahaan maupun individu:
- Kekurangan Bayar atau Kelebihan Bayar Pajak
- Kekurangan Bayar. Jika tarif yang dikenakan lebih rendah dari seharusnya, perusahaan wajib menanggung kekurangan tersebut. Hal ini termasuk potensi sanksi administrasi dan bunga keterlambatan.
- Kelebihan Bayar. Jika tarif yang dikenakan terlalu tinggi, karyawan mungkin harus mengajukan permohonan restitusi (pengembalian pajak), yang memerlukan proses panjang.
- Sanksi Administratif dan Denda. Denda atas Kekurangan Pemotongan, Sesuai ketentuan di UU KUP, perusahaan bisa dikenai sanksi berupa:
- Denda 2% per bulan dari jumlah pajak yang kurang dipotong.
- Potensi pemeriksaan pajak.
- Potensi Audit atau Pemeriksaan Pajak oleh DJP
- Kesalahan berulang atau signifikan dapat menarik perhatian otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan (tax audit).
- Beban Administrasi Tambahan. Proses koreksi, pembetulan SPT, dan pengajuan restitusi memerlukan tenaga, waktu, dan biaya tambahan. Hal ini seharusnya bisa dihindari jika pengenaan tarif dilakukan dengan benar sejak awal.
- Dampak terhadap Cash Flow Karyawan. Pemotongan yang terlalu besar mengurangi take home pay, yang bisa berpengaruh pada kondisi keuangan pribadi karyawan. Sebaliknya, jika kurang dipotong, karyawan berisiko menanggung pembayaran pajak tambahan di akhir tahun saat penghitungan SPT Tahunan.
Solusi yang Dapat Diimplementasikan oleh Perusahaan
- Pemutakhiran dan Pemahaman Peraturan Perpajakan: Rutin mengikuti update peraturan melalui sumber resmi (DJP, UU HPP, PMK terbaru), Menyediakan pelatihan atau workshop internal bagi bagian HRD, finance, dan payroll mengenai ketentuan PPh 21 terbaru, Membuat SOP (Standard Operating Procedure) yang jelas dan mengacu pada aturan terbaru.
- Validasi dan Pembaruan Data Karyawan: Melakukan verifikasi data pribadi karyawan secara berkala. Contohnya seperti status kawin, jumlah tanggungan, dan kepemilikan NPWP dan Memastikan seluruh data PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) diperbarui sesuai kondisi terakhir karyawan.
- Audit dan Rekonsiliasi Berkala: Melakukan pengecekan berkala terhadap perhitungan PPh 21 yang telah dilakukan. Selain itu juga membandingkan perhitungan manual dengan hasil sistem untuk memastikan akurasi.
- Konsultasi dengan Ahli atau Konsultan Pajak: Menggandeng konsultan pajak atau tax officer eksternal untuk mengaudit ketepatan pengenaan PPh Pasal 21.
BACA JUGA: [Penggunaan Metode Value for Money Dalam Kehidupan Sehari-hari]
***
Penulis: Tiara Rizky Afriyanti
Editor: Oky Sapto Mugi Saputro