VOKASI NEWS – Nilai budaya dan sejarah Klenteng Sukha Loka Surabaya dengan pendekatan visual edukatif melalui 22 altar simbolik tradisi Tionghoa.
Sebagai kota multikultural, Surabaya menyimpan berbagai warisan budaya yang masih lestari hingga kini. Salah satu di antaranya adalah Klenteng Sukha Loka. Tempat ibadah yang didirikan oleh komunitas Tionghoa keturunan Hokkian pada sekitar tahun 1830. Berlokasi di kawasan kota lama Surabaya, klenteng ini menjadi saksi sejarah sekaligus simbol spiritual yang terus hidup dalam masyarakat Tionghoa hingga hari ini.
Awalnya bernama Hok An Kiong, klenteng ini kemudian berganti nama menjadi “Sukha Loka” sesuai dengan kebijakan nasionalisasi nama asing pada masa lalu. Nama tersebut diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti “tempat bahagia” atau “dunia damai.” Makna ini mencerminkan harapan agar klenteng menjadi ruang penuh kedamaian dan berkah bagi umat serta lingkungan sekitarnya.
Simbolisme dan Peran Sosial Klenteng
Klenteng Sukha Loka dikenal karena memiliki 22 altar yang masing-masing mewakili tokoh spiritual atau nilai ajaran dalam tradisi Taoisme, Buddha Mahayana, dan Konfusianisme. Penataan altar ini tidak hanya berdasarkan nilai spiritual. Namun juga menyimbolkan harmoni antara ajaran dan budaya Tionghoa yang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal.
Di antara altar-altar tersebut, altar Dewi Mak Co menjadi pusat perhatian karena dianggap sebagai pelindung para pelaut dan saudagar. Hal tersebut sesuai dengan sejarah migrasi komunitas Tionghoa ke Nusantara. Klenteng ini juga berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya. Seperti perayaan Cap Go Meh, ritual leluhur, dan berbagai bentuk kegiatan komunitas.
Video Profil sebagai Media Edukasi Budaya
Sebagai upaya mendokumentasikan warisan budaya tersebut, sebuah video profil berjudul “Klenteng Sukha Loka Surabaya: Simbolisme 22 Altar dalam Tradisi Tionghoa” diproduksi dengan pendekatan kualitatif dan visual storytelling. Video ini merekam keindahan arsitektur, wawancara dengan pengurus klenteng, serta narasi sejarah yang mengangkat latar sosial dan budaya pendirian klenteng.
Melalui visual yang informatif dan estetis, karya ini bertujuan memperkenalkan keberagaman budaya kepada masyarakat luas, khususnya generasi muda. Video ini juga menjadi contoh nyata bahwa pengelolaan informasi di era digital tidak lagi terbatas pada teks cetak, tetapi dapat diwujudkan dalam bentuk media audio-visual yang lebih inklusif dan mudah diakses.
Produksi video ini sekaligus menjadi kontribusi dalam pelestarian budaya lokal. Di tengah arus modernisasi, dokumentasi digital seperti ini memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi nilai-nilai tradisi yang mulai terpinggirkan.
[BACA JUGA: CERMAT di Bongsopotro: Solusi Kreatif Tingkatkan Minat Belajar Matematika Siswa]
***
Penulis: Rani Yunitasari