VOKASI NEWS – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. PPN adalah pajak yang akan dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Pada dasarnya hampir semua barang dan jasa yang diserahkan oleh produsen maupun dimanfaatkan oleh konsumen merupakan BKP dan JKP. Hal tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah dengan status Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Atas kegiatan penyerahan dan perolehan tersebut kemudian menyebabkan adanya Pajak Keluaran dan Pajak Masukan. Pajak Keluaran (Output Tax) dipungut oleh PKP ketika melakukan penyerahan BKP/JKP, ekspor BKP berwujud atau tidak berwujud, dan ekspor JKP. Sementara ketika PKP melakukan perolehan atas BKP/JKP dan impor BKP, maka PKP dikenakan pajak yang disebut dengan pajak masukan (Input Tax).
Sistem Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dalam perhitungan PPN terdapat istilah yang disebut dengan pengkreditan pajak. Pajak masukan dalam suatu masa pajak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Tahun 2021 tentang PPN. Pajak Masukan dapat dikreditkan setelah dikurangi pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau dikurangi dengan pajak yang telah dikurangkan dari pajak terutang.
Wajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan kembali kelebihan atas pembayaran pajak yang dilakukan. Sementara pemerintah selain mempunyai kewajiban untuk memungut pajak dari masyarakat tetapi juga memiliki kewajiban untuk mengembalikan kelebihan pembayaran wajib pajak. Pada perhitungan pengkreditan PPN, apabila nominal pajak masukan dalam suatu masa pajak lebih besar dibandingkan nominal pajak keluaran yang dipungut, maka atas selisih kelebihan pajak masukan tersebut dapat diajukan kompensasi atau restitusi.
Kompensasi adalah kondisi ketika kelebihan bayar PPN dapat dimanfaatkan untuk membayar utang kurang bayar pajak pada periode berikutnya. Sementara restitusi merupakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh PKP kepada negara. PKP hanya dapat mengajukan restitusi PPN pada akhir tahun buku saja. Pada restitusi terdapat prosedur untuk jenis PPN yang dapat dimintakan untuk setiap masa pajak atau biasa disebut pengembalian pendahuluan.
Apa perbedaan restitusi biasa dengan prosedur pengembalian pendahuluan? Manakah yang lebih menguntungkan wajib pajak?
Pada prosedur biasa wajib pajak akan melalui proses pemeriksaan oleh otoritas pajak. Jangka waktu pemeriksaan tersebut dilakukan paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima lengkap. Wajib pajak harus bersikap kooperatif selama pemeriksaan berlangsung seperti memberikan keterangan maupun menyerahkan dokumen yang mendukung permohonan restitusi. Proses pemeriksaan tersebut akan menghasilkan produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP). Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) terbit apabila hasil pemeriksaan menyatakan tidak terdapat kelebihan maupun kekurangan pembayaran pajak.
BACA JUGA: Peranan I-DRL terhadap Dosis yang Diterima Pasien pada Pemeriksaan Radiografi Lumbosacral
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) akan terbit apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya kekurangan pembayaran pajak. Atas kurang bayar tersebut akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh menteri keuangan. Sementara Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) diterbitkan apabila hasil pemeriksaan menyatakan adanya lebih bayar pajak.
Proses Penelitian Pajak Pada Prosedur Kompensasi
Berbeda dari prosedur biasa, pada prosedur pengembalian pendahuluan wajib pajak akan melalui proses penelitian terkait permohonan restitusi yang diajukan. Penelitian dilakukan oleh otoritas pajak paling lama 1 bulan sampai 3 bulan. Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian formal dan penelitian material. Pengembalian pendahuluan dapat diajukan oleh wajib pajak yang termasuk dalam WP Kriteria Tertentu, WP Persyaratan Tertentu atau PKP Berisiko Rendah. Bagi wajib pajak yang masuk dalam kategori tersebut dapat meminta restitusi PPN setiap bulannya.
Kemudian Hasil dari penelitian dapat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) maupun tidak menerbitkan SKPPKP. Petugas pajak wajib memberitahukan hasil penelitian tersebut kepada wajib pajak. Prosedur pengembalian pendahuluan tetap tidak menutup kemungkinan dilakukannya pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak. Apabila hasil pemeriksaan tersebut menerbitkan SKPKB maka terdapat sanksi administrasi yang dikenakan berupa kenaikan sebesar jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dari segi waktu pengajuan restitusi pengembalian pendahuluan memang lebih cepat dibandingkan restitusi biasa. Namun dalam hal pengambilan keputusan terkait dengan prosedur restitusi yang harus diambil tetap berada di tangan wajib pajak. Prosedur pengembalian pendahuluan akan menjadi pilihan terbaik bagi wajib pajak yang yakin telah membayar dan melaporkan pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Terutama bagi wajib pajak yang membutuhkan dana cepat untuk memperlancar pembiayaan dan operasional perusahaan.
Hal ini karena wajib pajak dapat menerima kelebihan pembayaran pajak dengan cepat tanpa khawatir apabila ternyata diperiksa dan ditetapkan kurang bayar. Apabila pada akhirnya dilakukan pemeriksaan, koreksi yang didapatkan juga tidak akan besar sehingga akan memperkecil kemungkinan mendapat sanksi. Namun bagi wajib pajak yang menginginkan pengembalian secara penuh atau masih ragu dengan pemenuhan kewajiban perpajakannya, maka dapat memilih restitusi biasa. Karena nantinya jika ternyata terdapat koreksi dan ditetapkan kurang bayar, sanksi yang dikenakan lebih ringan dibandingkan dengan sanksi pengembalian pendahuluan.
***
Penulis: Dianita Widyanti
Editor: Puspa Anggun Pertiwi