VOKASI NEWS – Radiografi panoramik kini menjadi bagian penting dalam pemeriksaan gigi modern. Teknologi ini mampu menampilkan keseluruhan struktur rahang dan gigi dalam satu gambar. Namun, di balik kecanggihan alat tersebut, terdapat risiko radiasi bagi tenaga kesehatan, khususnya radiografer yang setiap hari berhadapan langsung dengan paparan radiasi. Radiasi pengion seperti sinar-X memang sangat membantu dalam mendiagnosis kelainan gigi dan tulang. Tetapi paparan yang terjadi terus-menerus, meski dalam dosis rendah, dapat berdampak serius pada kesehatan.
Dampak ini bersifat kumulatif dan berpotensi menimbulkan efek biologis seperti kerusakan jaringan, mutasi genetik, hingga kanker. Oleh karena itu, perlindungan terhadap radiografer harus menjadi prioritas. Berdasarkan data yang dilaporkan Rasoul et al. (2020), sekitar 30–40% radiografer tidak selalu mematuhi prosedur keselamatan kerja. Tamam (2021) bahkan menemukan bahwa 25% radiografer mengalami paparan radiasi yang melebihi batas aman tahunan menurut standar WHO. Persentase ini menunjukkan urgensi pelaksanaan proteksi radiasi yang ketat di ruang radiologi, termasuk pada unit panoramik gigi. Ketidakpatuhan ini dapat menyebabkan dampak serius pada kesehatan radiografer dalam jangka panjang.
Mengapa Proteksi Radiografi Panoramik Begitu Penting?
Dalam Peraturan Kepala BAPETEN No. 4 Tahun 2020 dijelaskan bahwa proteksi radiasi bertujuan mencegah efek deterministik dan membatasi dosis pada tingkat aman. Perlindungan terhadap petugas medis bukan hanya soal etika kerja, tetapi juga aspek legal dan profesional. Perlindungan terhadap radiasi dilakukan melalui tiga prinsip dasar: waktu, jarak, dan perisai (shielding). Jarak minimal dua hingga tiga meter dari sumber radiasi menjadi standar saat penyinaran berlangsung. Penggunaan ruang panel kendali berlapis timbal dan kaca Pb serta alat pelindung diri (APD) seperti apron Pb, pelindung tiroid, dan sarung tangan Pb menjadi bagian tak terpisahkan dari prosedur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan proteksi radiasi telah berjalan cukup baik. Radiografer secara umum telah menerapkan prinsip proteksi dasar, terutama dengan menjaga jarak dan berada di balik pelindung saat penyinaran dilakukan. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa kepatuhan masih bervariasi. Tidak semua radiografer menggunakan alat pelindung secara konsisten. Dalam beberapa situasi, apron tidak dikenakan karena dianggap berat, kurang nyaman, atau ditakutkan mengganggu kualitas gambar. Tekanan waktu akibat banyaknya jumlah pasien juga mempengaruhi penerapan proteksi secara menyeluruh. Hal ini menjadi bukti bahwa ketersediaan alat saja tidak cukup. Diperlukan kedisiplinan dan budaya kerja yang menjunjung tinggi prinsip keselamatan.
Edukasi dan Pengawasan Harus Berjalan Seiringan
Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah perlunya peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang risiko paparan radiasi jangka panjang. Edukasi yang berkesinambungan bagi tenaga medis harus diperkuat agar penggunaan alat pelindung tidak dianggap beban, melainkan kebutuhan. Selain edukasi, pengawasan dan evaluasi internal juga dibutuhkan. Monitoring dosis radiasi menggunakan alat TLD (Thermoluminescent Dosimeter) yang dikalibrasi berkala menjadi indikator penting dalam melihat sejauh mana paparan radiasi telah terjadi. Keselamatan kerja bagi radiografer bukan hanya melindungi individu, tapi juga menjamin mutu layanan kesehatan secara keseluruhan. Radiografer yang sehat dan terlindungi dapat bekerja lebih optimal dan memberikan hasil citra yang akurat tanpa mengorbankan kesehatan dirinya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun penerapan proteksi sudah cukup baik, namun konsistensi pemakaian alat pelindung masih perlu ditingkatkan. Dengan edukasi yang tepat dan dukungan institusi, proteksi radiasi dapat menjadi budaya kerja yang tertanam kuat di fasilitas pelayanan kesehatan.
BACA JUGA: [Kombinasi Auriculopressure dan Pijat Refleksi Bantu Atasi Insomnia Ringan]
***
Penulis: Ufairah Abidah
Editor: Oky Sapto Mugi Saputro