VOKASI NEWS – Kidung Jula-Juli merupakan tembang khas berbahasa Jawa, khususnya dialek Jawa Timuran, yang sering dibawakan dalam pertunjukan ludruk. Tembang ini memiliki ciri khas berupa lirik berima yang dinyanyikan dengan irama tertentu, disertai improvisasi bernuansa humor. Dalam pementasan ludruk, Jula-Juli biasanya berfungsi sebagai pembuka atau sebagai media penyampaian pesan kepada penonton.
Sebagai bagian dari identitas budaya Surabaya, Kidung Jula-Juli memuat nilai historis sekaligus sosial. Liriknya mencerminkan bahasa, humor, serta pandangan masyarakat terhadap kehidupan sehari-hari pada masanya. Namun, perkembangan hiburan modern membuat popularitasnya menurun dan memerlukan upaya serius untuk tetap dilestarikan.
Perjalanan dari Masa ke Masa
Kidung Jula-Juli mulai dikenal masyarakat pada dekade 1930-an melalui hiburan rakyat dan berkembang bersama kesenian ludruk. Pada tahun 1950–1970, Jula-Juli semakin populer karena sering ditampilkan di radio, panggung besar, hingga TVRI. Popularitasnya mulai meredup pada era 1980–1990, bersamaan dengan hadirnya hiburan baru. Meski demikian, sejak tahun 2000 hingga sekarang, Jula-Juli kembali diperkenalkan melalui festival budaya, media sosial seperti YouTube, hingga konten kreatif di TikTok.
Kebangkitan ini menjadi bukti bahwa Jula-Juli masih memiliki tempat di hati masyarakat. Melalui berbagai media, kesenian ini dapat menjangkau generasi baru dengan cara yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Identitas Lokal yang Tetap Dijaga
Mengajarkan Jula-Juli kepada generasi muda bukan hanya tentang melestarikan irama atau liriknya. Lebih dari itu, Jula-Juli menjaga bahasa Suroboyoan, cerita-cerita lokal, serta humor khas Surabaya. Nilai yang terkandung di dalamnya mengajarkan cara unik menyampaikan kritik sosial dengan ringan dan menghibur, tanpa kehilangan makna.
[BACA JUGA: Kenjeran dalam Lensa Pariwisata: Menyusuri Pesisir Surabaya dari Wajah Alam hingga Ikon Kota]
Keterlibatan generasi muda dalam pertunjukan Jula-Juli juga memperkuat hubungan lintas generasi. Seniman senior dapat menuturkan pengalaman mereka, sementara anak-anak muda belajar tampil sekaligus memahami identitas kotanya. Dengan demikian, Jula-Juli tetap hidup sebagai warisan budaya yang tidak hanya dikenang, tetapi juga terus dikembangkan.
***
Penulis: Nabila Nur Rahmania
Editor: Fatikah Rachmadianty