Festival Reog Ponorogo: Sakralitas, Tradisi, dan Panggung Budaya Nusantara
Setiap kali bulan Suro tiba dalam penanggalan Jawa, Kabupaten Ponorogo—sebuah kota budaya di Jawa Timur yang dikenal dengan julukan “Kota Reog”—berubah menjadi pusat perayaan tradisi yang kental dengan unsur magis dan spiritual. Festival Reog Ponorogo yang rutin digelar setiap tahun pada bulan ini tidak hanya menjadi pertunjukan seni, tetapi juga sarana pelestarian budaya, bentuk syukur terhadap leluhur, serta wadah pengembangan ekonomi kreatif masyarakat.
Bulan Suro sendiri dipandang sebagai waktu yang sarat makna bagi masyarakat Jawa, khususnya warga Ponorogo. Momentum ini dimanfaatkan untuk tirakat, introspeksi, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Masyarakat merespons nilai-nilai spiritual ini melalui penyelenggaraan Festival Reog, yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, melainkan juga ritual budaya yang diyakini membawa keberkahan dan perlindungan.
Dalam pertunjukan Reog, sosok Singo Barong menjadi simbol keberanian dan kekuatan. Di bulan Suro, Reog bukan sekadar tontonan, tetapi juga sarana tolak bala dan doa keselamatan. Para seniman Reog menjalani tirakat berupa puasa dan doa sebelum tampil, meyakini bahwa kekuatan spiritual turut menyertai gerak dan hentakan dalam setiap pertunjukan.
Tradisi Leluhur yang Terjaga: Kirab Pusaka dan Larung Sesaji
Puncak festival ditandai dengan Kirab Bedhol Pusaka yang dilangsungkan menjelang dini hari. Arak-arakan benda pusaka seperti payung Songsong Tunggul Wulung, tombak Tunggul Nogo, dan sabuk Angkin Cinde Puspito yang pernah digunakan oleh Raden Batoro Katong turut diarak sebagai simbol kejayaan masa lampau. Tradisi ini dilanjutkan dengan Larung Sesaji di Telaga Ngebel sebagai lambang pembersihan diri dan penghormatan kepada alam.
Festival ini juga menjadi ajang kompetisi Reog tingkat nasional yang berlangsung selama delapan hari. Ratusan seniman dari berbagai sanggar dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia hadir, termasuk 22 grup Reog remaja dan 37 grup Reog dewasa pada tahun 2024. Keikutsertaan mereka tidak hanya memeriahkan acara, tetapi juga memperkuat jejaring budaya antardaerah.
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Edukasi
Kehadiran ribuan wisatawan domestik maupun mancanegara memberikan dampak ekonomi signifikan bagi Ponorogo. Para pelaku UMKM lokal mendapat peluang memasarkan produk unggulan, mulai dari kuliner khas hingga kerajinan tangan. Festival ini tidak hanya menggugah semangat budaya, tetapi juga menjadi penggerak sektor ekonomi kreatif.
Bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan vokasi, Festival Reog Ponorogo bisa menjadi media pembelajaran kontekstual. Bidang seperti manajemen acara, produksi kreatif, desain kostum, serta promosi pariwisata dapat dijadikan materi pembelajaran yang aplikatif. Dengan begitu, kolaborasi antara akademisi dan masyarakat lokal akan semakin terbuka lebar.
Menjaga Napas Budaya di Tengah Arus Modernisasi
Festival Reog Ponorogo bukan hanya perayaan tahunan, melainkan perwujudan cinta terhadap warisan budaya. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, upaya pelestarian seni seperti Reog merupakan bentuk konkret mempertahankan jati diri bangsa. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menghargai nilai-nilai luhur sebagai fondasi dalam membangun masa depan.
Sebagai bagian dari masyarakat Ponorogo, penulis berharap agar mahasiswa vokasi dan generasi muda pada umumnya terinspirasi untuk turut menjaga kebudayaan. Pelestarian bukan semata tugas para seniman, tetapi tanggung jawab bersama dalam merawat akar kebangsaan.
Penulis : Saniatuz Zahro Oktafiani