VOKASI NEWS – Ketidaktelitian dalam memverifikasi status NPWP mitra berujung pada koreksi pajak dan sanksi administratif dalam pemeriksaan PT AFF.
Pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara, yang digunakan untuk membiayai berbagai pembangunan dan keperluan publik. Di Indonesia, sistem pemungutan pajak menganut self-assessment system. Artinya, bahwa Wajib Pajak diberikan kewenangan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang.
Salah satu jenis pajak yang menerapkan sistem ini adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Pajak dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, seperti upah, gaji, honorarium, dan tunjangan. Namun, sistem ini memiliki potensi terjadinya ketidakpatuhan, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang melakukan pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pemeriksaan Pajak dan Temuan SPHP atas PPh 21
PT AFF, sebuah perusahaan manufaktur pengolahan pupuk yang berlokasi di Gresik dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sejak tahun 2020. Pada tahun 2024, PT AFF menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). SPHP tersebut terkait pengujian kepatuhan pelaporan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak 2022. SPHP ini merupakan dokumen penting yang memuat temuan sementara dari proses pemeriksaan, termasuk potensi koreksi atas kewajiban perpajakan dan perhitungan sementara sanksi administrasi.
Hasil pemeriksaan mengindikasikan adanya objek PPh Pasal 21 senilai Rp38.640.000 yang belum dilakukan pemotongan oleh PT AFF. Temuan ini berasal dari komponen biaya komisi marketing, yang terdiri dari biaya gaji bulan Januari sebesar Rp18.060.000 dan biaya eksternal fee atas penjualan pupuk senilai Rp20.580.000. Selisih objek pajak menurut SPT/Wajib Pajak sebesar Rp3.561.010.496 dengan hasil pemeriksaan sebesar Rp3.599.650.496. Selisih tersebut memperkuat temuan adanya kekurangan pemotongan PPh Pasal 21. PT AFF tidak sepenuhnya menyetujui koreksi ini.
Perusahaan berargumen bahwa biaya eksternal fee penjualan pupuk telah dipotong pajaknya. Bukti potongnya telah dilampirkan pada Formulir 1721 – II SPT Masa PPh Pasal 21 bulan Agustus. Namun, PT AFF menyetujui koreksi atas biaya gaji bulan Januari, karena mengakui adanya kelalaian staf dalam melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas biaya tersebut. PT AFF pun melampirkan perhitungan PPh terutang atas biaya gaji bulan Januari, dengan tarif 50% dari penghasilan bruto. Lalu, dikalikan lapisan tarif PPh Pasal 21 sebesar 5% untuk orang pribadi bukan pegawai tidak berkesinambungan, menghasilkan PPh terutang senilai Rp451.500.
[BACA JUGA: Penghasilan Tambahan Bisa Jadi Masalah Pajak? Ini Cara Cerdas Menghadapinya]
Ketidaksesuaian Bukti Potong dan Status NPWP NE
Meskipun PT AFF telah memberikan tanggapan atas SPHP, tim pemeriksa pajak tetap mempertahankan koreksi sesuai dengan SPHP. Hal ini disebabkan karena bukti potong yang dilampirkan PT AFF dianggap tidak sah. Mengingat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang digunakan masih berstatus non-efektif (NE) pada saat pemotongan dilakukan. Status NPWP Non-Efektif (NE) diberikan kepada Wajib Pajak yang untuk sementara tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagai Wajib Pajak, serta tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan PPh. Salah satu dampak serius dari status NPWP NE adalah pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi. Wajib Pajak yang dianggap tidak memiliki NPWP aktif akan dikenakan tarif 120% lebih tinggi dari tarif normal dalam konteks pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak ketiga.
Akibatnya, pemeriksa menghitung besaran pajak dengan tarif 120% lebih tinggi dari tarif yang seharusnya. Hal ini menyebabkan PT AFF memiliki pajak yang kurang bayar senilai Rp1.668.321. PPh kurang bayar ini terdiri dari pajak yang masih/kurang dibayar senilai Rp1.159.200. Ditambah sanksi administrasi berupa bunga Pasal 13 (2) UU KUP senilai Rp509.121. Sebagai hasil akhir dari proses pemeriksaan, diterbitkanlah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang mewajibkan PT AFF untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak tersebut. Kasus ini menyoroti pentingnya memastikan status NPWP tetap aktif untuk menghindari konsekuensi pajak yang tidak diinginkan.
***
Penulis: Anindya Rizky Utami
Editor: Habibah Khaliyah