VOKASI NEWS – Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen krusial dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak suatu negara. Untuk mewujudkan suatu keadilan pajak, diperlukan penegakan hukum yang dilakukan melalui pemeriksaan ataupun penyidikan. Dampak atas perilaku ketidakpatuhan Wajib Pajak terhadap tingkat perolehan penerimaan pajak merupakan hal yang sangat substansial. Maka dari itu, peranan petugas pajak menjadi sangat krusial dalam upaya meningkatkan penerimaan perpajakan.
Hal ini tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 1 angka 25. Disebutkan bahwa pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti. Hal ini dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Hal itu mencerminkan bahwa pemeriksaan pajak adalah salah satu pilar dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh pemerintah guna mewujudkan sistem self-assessment yang efektif dan sehat. Meskipun demikian, tidak jarang Wajib Pajak abai dengan aturan yang berlaku dimana hal ini mencerminkan sikap tidak taat pajak. Ketidakpatuhan ini menjadi sebab kerap kali Wajib Pajak mengalami konflik dengan otoritas yang berwenang. Tentunya, hal ini berujung pada diterbitkannya salah satu dari manifestasi pemeriksaan pajak yakni Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).
Sistem Pemeriksaan Pajak di Sebuah Organisasi Non Profit
Dalam ranah fungsi sosial, sebuah yayasan berperan sebagai entitas penyelenggara kegiatan pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yayasan pendidikan dikategorikan sebagai Badan, yang mana menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Badan termasuk dalam Subjek Pajak. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa yayasan pendidikan merupakan subjek pajak yang wajib melakukan pendaftaran sebagai Wajib Pajak. Implikasi dari pendaftaran ini adalah timbulnya kewajiban bagi yayasan untuk melaksanakan pembukuan, menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, serta SPT Masa.
Dalam hal ini, pemeriksaan dilakukan terhadap sebuah Organisasi Non Profit berbentuk Yayasan yang bergerak di bidang Pendidikan. Pemeriksaan dilakukan sehubungan dengan terbitnya Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Hal ini bertujuan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 25 UU KUP. Hal ini dilaksanakan atas seluruh jenis pajak (all taxes) dimana pos yang diperiksa meliputi PPh 21, PPh 23, PPh Badan, dan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Pemeriksaan ini pun dilakukan dan memerlukan waktu sekitar 10 bulan dimulai sejak Februari 2024 hingga Desember 2024.
Studi Kasus PPn Kegiatan Membangun Sendiri (PPn KMS)
Pada saat pemeriksaan, pada pos PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS), ditemukan temuan. Hasilnya, terdapat sejumlah pembangunan gedung dan bangunan yang dilakukan sendiri tanpa menggunakan jasa pihak ketiga. Dalam hal ini jasa kontraktor, yang kurang dibayar PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri dan harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN masa Desember tahun 2021. Namun dalam praktiknya, Yayasan XYZ abai dengan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Pada akirnya, dinyatakan belum melaporkan PPN KMS yang terutang dalam SPT Masa PPN 2021.
Akibat dari kelalaian tersebut, Yayasan XYZ dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) UU KUP dan sanksi denda atas keterlambatan atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU KUP.
BACA JUGA: [Pentingnya Kepatuhan Pajak Atas Penjelasan Biaya Yang Dikenakan PPh Pasal 23]
***
Penulis: Adella Firsty Bintang Maharani Arisanti
Editor: Oky Sapto Mugi Saputro