VOKASI NEWS – Pemerintah Indonesia berencana meningkatkan penerimaan pajak sebesar 10% pada tahun 2024. Penerimaan pajak menjadi indikator penting untuk menilai kondisi perekonomian. Indikator penerimaan pajak akan dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB adalah total nilai barang atau jasa yang diproduksi, dikurangi nilai barang atau jasa yang digunakan dalam produksi.
Alasan Penerbitan SP2DK
Penerbitan Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK) merupakan upaya Pemerintah untuk mendorong pemenuhan kewajiban perpajakan dan meningkatkan penerimaan pajak. SP2DK diberikan kepada Wajib Pajak (WP) yang berperan penting dalam mendukung perekonomian. Pada tahun 2023, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan ribuan SP2DK yang disampaikan kepada WP di seluruh Indonesia. Tujuan penerbitan SP2DK adalah meminta penjelasan terkait data dan/atau keterangan dari WP yang diduga belum memenuhi kewajiban perpajakan sesuai peraturan yang berlaku.
Penerbitan SP2DK juga berfungsi untuk mengawasi WP yang menerapkan sistem pemungutan pajak self-assessment. Sistem ini memberikan kepercayaan kepada WP untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang secara mandiri. Manfaat penggunaan sistem ini, yaitu proses pemungutan pajak menjadi lebih efektif. Meskipun demikian, pengawasan dan pengujian tetap diperlukan untuk memastikan kepatuhan WP.
Industri Rokok
Industri rokok memiliki peran penting terhadap pendapatan negara melalui kontribusinya dalam membayar pajak dan cukai. Setiap batang rokok yang diproduksi dan dijual menjadi sumber pendapatan negara. Hal ini dikarenakan, setiap batang rokok dikenakan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan cukai. Tingginya konsumsi rokok di Indonesia membuat omset atau peredaran usaha industri rokok mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya.
Perhitungan peredaran usaha dalam industri rokok menggunakan Harga Transaksi Pasar (HTP). Berdasarkan PMK nomor 191/PMK.010/2022, HTP merupakan besarnya harga transaksi penjualan yang terjadi pada tingkat konsumen akhir. HTP ditentukan kurang dari 85% dari Harga Jual Eceran (HJE) dengan estimasi minimal 75% dari HJE. Nilai peredaran usaha dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Terkait kewajiban PPN industri rokok, penyerahan Hasil Tembakau (HT) menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain, yaitu HJE. Berdasarkan PMK nomor 63/PMK.03/2022, HJE adalah harga yang ditetapkan sebagai dasar penghitungan besarnya cukai. Tarif PPN untuk penyerahan HT adalah 9,9%. Nilai penyerahan HT serta PPN dilaporkan pada SPT Masa PPN. Perbedaan antara nilai peredaran usaha dan nilai penyerahan HT pada SPT Masa PPN berpotensi menerima SP2DK bagi WP industri rokok.
Contoh Perhitungan HTP dan HJE pada Industri Rokok
Terdapat penjualan rokok SKT merek Level sebanyak 20.000 pack yang menggunakan HTP (Harga Transaksi Pasar) dengan asumsi 75% dari HJE (Harga Jual Eceran). HJE rokok SKT merek Level adalah Rp 6.100, maka perhitungan HTP sebagai berikut:
HTP = 75% x HJE
= 75% x Rp 6.100
= Rp 4.575
Berdasarkan HTP tersebut, nilai peredaran usaha dihitung sebagai berikut:
Nilai peredaran usaha = HTP x penjualan
= Rp 4.575 x 20.000 pack
= Rp 91.500.000
Jadi, nilai peredaran usaha sebesar Rp 91.500.000 dilaporkan dalam SPT Tahunan.
Selanjutnya, menghitung nilai penyerahan yang dipungut PPN atas penjualan rokok SKT merek Level dengan HJE senilai Rp 6.100 sebagai berikut:
Nilai penyerahan = HJE x penjualan
= Rp 6.100 x 20.000 pack
= Rp 122.000.000
Berdasarkan nilai penyerahan tersebut, maka PPN yang harus dipungut adalah:
PPN = Nilai penyerahan x tarif PPN
= Rp 122.000.000 x 9,9%
= Rp 12.078.000
Jadi, nilai penyerahan sebesar Rp 122.000.000 dan PPN sebesar Rp 12.078.000 dilaporkan pada SPT Masa PPN.
BACA JUGA: https://vokasi.unair.ac.id/ekualisasi-pajak-salah-satu-upaya-mempersiapkan-pemeriksaan-pajak/
Hasil
Berdasarkan perbedaan antara nilai peredaran usaha dan nilai penyerahan SPT Masa PPN, dapat ditentukan apakah nilai tersebut wajar atau tidak. Nilai wajar apabila HTP berada dalam kisaran 75%-85% dari HJE. Perhitungan nilai wajar dapat dihitung dengan membandingkan HTP dan HJE, contohnya:
Nilai wajar = HTP/HJE
= Rp 4.575/Rp 6.100
= 0,75
Sedangkan, nilai tidak wajar apabila HTP kurang dari 75%-85% dari HJE. Nilai tidak wajar berpotensi menerima SP2DK dari DJP untuk meminta penjelasan. Oleh karena itu, pemahaman tentang kewajiban perpajakan dan kelengkapan data sangat penting untuk memastikan kepatuhan WP serta menghindari masalah pajak di masa mendatang. ***
Penulis: Akane Fay Naila Orlean
Editor: Galuh Candrawati