Perbandingan Metode Full Costing dan Activity Based Costing Pada Pabrik Gula Dengan Sistem Bagi Hasil

Perbandingan Metode Full Costing dan Activity Based Costing Pada Pabrik Gula Dengan Sistem Bagi Hasil_Dokumen Istimewa

VOKASI NEWS – Penerapan activity based costing pada pabrik gula mendukung efisiensi biaya produksi dan transparansi sistem bagi hasil, guna mencapai target swasembada gula nasional secara akurat dan berkelanjutan.

Sistem Bagi Hasil dan Tantangan Biaya Produksi

Pabrik gula memiliki peran strategis dalam mendukung program swasembada gula nasional. Dalam operasionalnya, pabrik menggunakan sistem kerja berbasis kemitraan dengan petani tebu melalui mekanisme bagi hasil. Model ini memungkinkan pabrik menerima tebu dari petani tanpa membeli bahan baku secara langsung. Sebagai gantinya, hasil produksi berupa gula dan tetes dibagi dengan komposisi 70% untuk petani dan 30% untuk pabrik.

Untuk menjaga efisiensi, struktur biaya menjadi perhatian utama. Biaya terbesar terletak pada proses pengolahan tebu menjadi gula. Pembelian langsung tebu hanya dilakukan bila pasokan tidak mencukupi, dan keputusan tersebut berada di tangan manajemen. Selama ini, metode perhitungan harga pokok produksi yang digunakan adalah full costing, yaitu metode yang menjumlahkan seluruh biaya tetap dan variabel.

Meski sederhana, metode full costing dinilai kurang tepat bagi perusahaan yang memiliki proporsi biaya overhead tinggi, seperti pabrik gula. Biaya overhead mendominasi pengeluaran dalam proses produksi. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih akurat dan terperinci.

Keunggulan Activity Based Costing untuk Industri Gula

Metode activity based costing (ABC) menawarkan solusi yang lebih sesuai dengan karakteristik biaya di pabrik gula. ABC mengalokasikan biaya berdasarkan aktivitas nyata yang menyerap sumber daya. Setiap aktivitas diidentifikasi, dikelompokkan, dan dialokasikan berdasarkan cost driver yang relevan.

Hasil perhitungan menunjukkan adanya selisih signifikan antara metode full costing dan activity based costing. Untuk produk gula, selisih harga pokok produksi mencapai sekitar Rp999.178 per ton, sementara produk tetes memiliki selisih sekitar Rp156.488 per ton. Perbedaan ini mencerminkan kemampuan metode ABC dalam mendeteksi pemborosan biaya yang tersembunyi.

Penerapan ABC mendukung efisiensi produksi dan akurasi penentuan harga pokok. Biaya overhead terbagi secara proporsional sesuai aktivitas, sehingga memudahkan manajemen dalam menetapkan harga jual dan mengambil keputusan bisnis yang tepat. Lebih dari itu, sistem ini mendukung transparansi dan pengendalian biaya yang lebih terukur.

Integrasi metode ABC juga sejalan dengan sistem bagi hasil yang diterapkan pabrik gula. Perhitungan biaya yang rinci memungkinkan perusahaan menyusun strategi produksi yang lebih efektif. Setiap aktivitas dapat diukur dan dianalisis untuk mendukung perencanaan jangka panjang serta kestabilan produksi nasional.

Penggunaan ABC di industri gula menjadi langkah strategis dalam menghadapi dinamika pasar. Efisiensi biaya dapat dicapai tanpa mengurangi kualitas produk. Jika diterapkan secara bertahap, metode ini dapat mempermudah transisi manajemen dalam pengelolaan data aktivitas produksi.

[BACA JUGA: Konsekuensi Misklasifikasi Pajak Penghasilan SP2DK Studi Kasus dari Firma Optima Solution]

Evaluasi berkala terhadap metode penghitungan biaya sangat disarankan agar perusahaan tetap relevan dengan kondisi operasional. Penerapan metode ABC di berbagai pabrik gula diharapkan mampu memperkuat upaya swasembada melalui perhitungan biaya produksi yang lebih akurat dan efisien.

***

Penulis: Maharani Rinda Isti Ningrum

Editor: Fatikah Rachmadianty