Potensi Ekstrak Kulit Limau Kuit (Citrus Hystrix) Sebagai Antibakteri Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus

VOKASI NEWS – Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri dengan Gram positif dengan bentuk kokus bergerombol yang merupakan bakteri patogen pada manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa jenis infeksi Staphylococcus aureus selama hidupnya. Namun, tingkat keparahannya beragam dan infeksinya pun bervariasi. Mulai dari infeksi minor di kulit (furunkulosis dan impetigo), infeksi traktus urinarius, sampai infeksi mata dan Central Nervous System (CNS). 

Bakteri Staphylococcus aureus juga termasuk salah satu bakteri penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bersama dengan Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, dan Haemophilus influenzae. Staphylococcus aureus sering ada di lingkungan sekitar dan juga bisa ditemukan sebagai flora normal manusia, terutama di kulit dan selaput lendir. Biasanya, terlokalisir di daerah hidung, pada banyak orang yang sehat (Marsa, et al., 2021; Widoyono 2015). Pada infeksi kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus akan terbentuk abses atau bisul (Suleman, et al., 2022).

Penggunaan Antibiotik pada Infeksi Staphylococcus Aureus

Infeksi Staphylococcus aureus  dapat diobati dengan penggunaan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak adekuat dapat meningkatkan risiko resistensi. Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik telah banyak dilaporkan, salah satunya Staphylococcus aureus terhadap berbagai antibiotik golongan β-laktam. Tingginya tingkat resistensi terhadap amoxicillin menyebabkan penggunaan amoksisilin-klavulanat mulai meningkat di masyarakat walaupun tanpa data kultur atau data epidemiologi. 

Antibiotik yang sering digunakan dalam terapi keluhan demam pada anak di Indonesia adalah sefadroksil, sefiksim, dan amoksisilin. Staphylococcus aureus telah mengalami resistensi terhadap amoksisilin-klavulanat (Valzon, et al., 2021). Sehingga diperlukan penemuan antimikroba baru yang minim resiko resisten seperti antimikroba dari bahan alam. Indonesia sebagai negara tropis merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman bahan alam (hayati) yang sangat melimpah. Salah satunya tumbuhan obat yang memiliki potensi sebagai antimikroba. 

Jeruk limau kuit (Citrus hystrix)  merupakan salah satu jenis jeruk lokal yang dikenal khas dari Kalimantan Selatan. Kulit jeruk limau kuit sering dimanfaatkan sebagai obat karena mengandung senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antioksidan dan anti inflamasi (Nisa, dkk., 2021). Selain itu, kulit jeruk limau kuit juga menunjukkan potensi antibakteri. Berdasarkan penelitian Ariyani (2018), ekstrak etanol kulit limau kuit memiliki kadar senyawa triterpenoid yang sangat tinggi. 

Triterpenoid sebagai antibakteri dapat bereaksi dengan porin (protein transmembran) di membran luar dinding sel bakteri. Kemudian, membuat ikatan polimer yang kuat akibatnya terjadi kerusakan di porin. 

Pengujian Ekstrak Kulit Limau Sebagai Antibakteri

Pengujian antimikroba dapat dilakukan dengan menggunakan uji difusi dan uji dilusi. Uji difusi digunakan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak dalam menghambat pertumbuhan bakteri yang dilihat dari terbentuknya zona hambat pada media uji. Sedangkan uji dilusi digunakan untuk mengetahui kadar hambat minimum dan kadar bunuh minimum bakteri dengan menggunakan media cair. 

BACA JUGA: Strategi Manajemen Piutang BPJS untuk Meningkatkan Arus Kas Rumah Sakit

Pengujian ekstrak kulit limau kuit sebelumnya pada penelitian Ariyan, dkk., (2018) dan Widhowati, dkk., (2020) masih terbatas pada uji difusi dan belum ada penelitian lebih lanjut tentang penentuan nilai kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Berdasarkan penguraian latar belakang tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui efektifitas ekstrak kulit limau kuit sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan penentuan nilai zona hambat dengan uji difusi, KHM dan KBM menggunakan uji dilusi.

***

Penulis: Gantari Dahayu Indurasmi

Editor: Puspa Anggun Pertiwi