PPh 23 Tak Dipotong? SP2DK Bisa Terbit, Ini Solusinya

PPh 23 Tak Dipotong? SP2DK Bisa Terbit, Ini Solusinya_Google

VOKASI NEWS – SP2DK dapat muncul jika PPh 23 atas jasa tidak dipotong dan disetor. Pemahaman pajak yang tepat dan pembetulan SPT disertai bukti setor bisa mencegah sanksi.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkatkan pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak melalui berbagai instrumen. Salah satunya adalah Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Salah satu penyebab umum terbitnya SP2DK adalah tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 oleh pemberi penghasilan.

PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan berupa jasa, dividen, bunga, royalti, dan sewa yang dibayarkan oleh badan usaha kepada wajib pajak dalam negeri. Kewajiban pemotongan berada di pihak pemberi penghasilan. Jika pemotongan tidak dilakukan, DJP dapat menemukan ketidaksesuaian data melalui laporan pihak ketiga seperti SPT lawan transaksi, e-faktur, maupun data dari instansi lain.

SP2DK Terbit karena Kelalaian Pemotongan Jasa

Dalam praktiknya, banyak wajib pajak tidak memotong PPh Pasal 23 karena kesalahan identifikasi status penerima penghasilan. Misalnya, rekanan dianggap sebagai pelaku UMKM yang dikenai PPh final, padahal tidak memiliki Surat Keterangan (SKB) atau Surat Keterangan PP 23 yang sah. Akibatnya, kewajiban pemotongan tetap melekat dan berpotensi memicu SP2DK.

Ketika SP2DK diterbitkan, wajib pajak harus memberikan tanggapan dalam waktu 14 hari. Tanggapan dapat berupa klarifikasi, bukti dokumen transaksi, dan jika perlu, pembetulan SPT Masa terkait. Bila terbukti terdapat kekurangan pembayaran PPh 23, maka wajib pajak harus menyetor pajak yang kurang beserta sanksinya sesuai Pasal 7 ayat (2) UU KUP. Bukti setor atau ID Billing wajib disertakan dalam jawaban.

[BACA JUGA: Selisih Pembelian Emas Balen Picu SP2DK]

Pencegahan Lebih Baik daripada Sanksi

Ketidaktahuan atau kelalaian dalam memahami ketentuan pajak sering kali menyebabkan kurang bayar. Jika DJP akhirnya menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU KUP, maka wajib pajak akan dikenai denda dan bunga administrasi.

Untuk mencegah hal tersebut, perusahaan disarankan melakukan rekonsiliasi data secara rutin. Pemahaman yang baik oleh bendahara, staf keuangan, dan manajemen perusahaan mengenai kewajiban pemotongan pajak, khususnya atas jasa, menjadi kunci dalam membangun kepatuhan pajak yang berkelanjutan.

***

Penulis: Juliannisa Arfi Setya Wardhani