VOKASI NEWS – Risiko yang mungkin terjadi apabila terjadi kelalaian tidak melakukan pemungutan PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Bagi wajib pajak yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki kewajiban yang melekat pada statusnya. Kewajiban yang melekat yakni kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada SPT Masa PPN. Munculnya kewajiban tersebut karena wajib pajak telah melakukan kegiatan penyerahan atau konsumsi atas Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak (JKP). Oleh karena itu, setiap wajib pajak yang telah berstatus PKP harus melaksanakan kewajiban tersebut secara patuh dan sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang perpajakan terutama PPN.
Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK)
Setiap wajib pajak memiliki kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi dan dipatuhi dalam setiap masa atau tahun pajak. Pemenuhan kewajiban tersebut akan selalu diawasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku lembaga yang melaksanakan kebijakan di bidang perpajakan. Sebagai bentuk dari upaya pengawasan terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh setiap wajib pajak, DJP dapat menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK). SP2DK adalah surat yang diterbitkan oleh DJP kepada wajib pajak dalam rangka pelaksanaan Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (P2DK). Tujuan penerbitan SP2DK adalah untuk meminta penjelasan atas data ataupun keterangan kepada wajib pajak mengenai temuan fiskus atas dugaan bahwa wajib pajak belum atau tidak melaksakan kewajiban perpajakannya.
Kasus Kelalaian Tidak Melakukan Pemungutan PPN
PT A adalah perusahaan yang bergerak dalam industri manufaktur pembuatan furnitur. Produk furniturnya dijual ke pasar domestik dalam negeri dan eskpor ke beberapa negara di luar negeri. PT A merupakan wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maka dari itu PT A memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas setiap kegiatan penyerahan atau konsumsi BKP dan JKP selama melakukan kegiatan usaha. Dalam menjalankan usahanya, PT A menggunakan jasa sales representative dari luar negeri untuk menjual produk furniturnya ke luar negeri. Setiap sales representative yang berhasil menjual produk furnitur PT A akan menerima pembayaran imbalan jasa.
Temuan Mengenai Dugaan Belum Melakukan Pemungutan
Di tahun 2022, PT A menerima SP2DK yang diterbitkan oleh DJP, surat tersebut berisikan temuan-temuan fiskus mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan PT A selama tahun 2020. Salah satu isi dalam SP2DK tersebut memuat temuan mengenai dugaan bahwa PT A belum melakukan pemungutan PPN atas pemanfaatan jasa luar negeri selama tahun 2020. Jumlah transaksinya adalah sebesar Rp5.720.579.027, maka potensi PPN yang belum dipungut adalah sebesar Rp572.057.903. PT A kemudian menganalisis penyebab munculnya temuan PPN tersebut. Setelah dianalisis, ternyata PT A telah lalai dan memang belum melakukan pemungutan PPN atas jasa luar negeri selama tahun 2020, jasa tersebut merupakan jasa sales representative yang telah digunakan untuk membantu menjual produk furniturnya ke luar negeri.
Tanggapan Mengenai SP2DK
Langkah selanjutnya yang dilakukan PT A adalah menanggapi SP2DK melalui surat tanggapan yang dikirim ke DJP. Tanggapan yang diberikan adalah menyatakan menyetujui sebagian temuan fiskus. Hal tersebut dikarenakan dalam temuan yang ada pada SP2DK, terdapat transaksi pembayaran bunga pinjaman yang mana tidak terutang PPN, sehingga PT A tidak menyetujui atas temuan tersebut. Maka, jumlah transaksi pemanfaatan jasa luar negeri yang belum dipungut PPN, disetujui sebesar Rp2.775.834.677 dengan PPN terutangnya sebesar Rp277.583.468. Atas PPN terutang tersebut, telah disetorkan ke kas negara. Tanggapan tersebut kemudian disetujui dan diterima oleh DJP. Berikutnya PT A harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN pada masa pajak yang terutang jasa luar negeri. Akibatnya, PT A akan berpotensi dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai Pasal 8 ayat 2a UU KUP, dikarenakan pembetulan SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar. Potensi bunga yang harus dibayar adalah sebesar Rp65.953.832.
Berdasarkan kasus tersebut, menunjukkan bahwa wajib pajak yang telah memiliki kewajiban perpajakan harus memenuhinya secara patuh dan sesuai peraturan perpajakan. DJP pun telah mengawasi segala tindakan wajib pajak dan mempunyai upaya menegur wajib pajak. Seperti halnya dengan PT A yang menerima SP2DK. Surat tersebut tidak semata-mata diberikan tanpa alasan, rupanya terdapat kelalaian PT A yang belum memenuhi kewajibannya untuk memungut PPN. Oleh karena itu, dalam penyelesaian SP2DK, PT A berisiko terkena sanksi bunga. Hal ini merupakan akibat dari pembetulan SPT Masa yang utang pajaknya menjadi lebih besar karena adanya PPN yang belum dipungut.
BACA JUGA : Influencer Marketing 2.0: Kekuatan KOL untuk Meningkatkan Brand Awareness
***
Penulis : Maulian Parmadani
Pembimbing : Yanuar Nugroho
Editor : Maulidatus Solihah