Sejarah Kampung Pecinan di Kapasan Dalam Surabaya

VOKASI – Sejarah Kampung Pecinan di Kapasan Dalam Surabaya, sebuah kajian Mahasiswa Fakultas Vokasi Universitas Airlangga.

Menelusuri Sejarah Kampung Pecinan Kapasan Surabaya

Kampung Pecinan Kapasan Dalam adalah salah satu kawasan tertua di Surabaya. Kampung ini menjadi tempat berkumpulnya etnis Tionghoa sejak zaman kolonial Belanda. Terletak di Surabaya Utara, kampung ini dulunya dibagi berdasarkan sistem ras oleh Belanda. Meskipun pernah mengalami kebakaran hebat, kini kampung ini berkembang sebagai destinasi wisata yang menarik.

Kampung Pecinan ini dikenal sebagai Chinatown atau Kampung Cina. Kawasan ini berkembang pesat menjadi pusat budaya Tionghoa di Surabaya. Dengan suasana yang khas, arsitektur bangunan tua, dan tradisi yang kuat, kampung ini memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan asing.

Saksi Sejarah Perlawanan Tionghoa di Surabaya

Kampung Pecinan Kapasan Dalam memiliki sejarah panjang yang penuh perjuangan. Menurut Dony Djhung, seorang aktivis setempat, kampung ini menjadi tempat pertama bagi etnis Tionghoa di Surabaya. Etnis ini terkenal sebagai pendekar kungfu yang berani melawan penjajahan Belanda. Mereka mendapat julukan Buaya Kapasan karena keberanian mereka.

Perjuangan etnis Tionghoa juga tercatat dalam pertempuran 10 November 1945. Mereka turut berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kampung Pecinan menjadi saksi bisu perjuangan ini dan merupakan bagian penting dari sejarah Surabaya.

Keunikan Bangunan Tua di Kampung Pecinan

Salah satu daya tarik Kampung Pecinan Kapasan adalah bangunan tua berusia lebih dari 200 tahun. Bangunan ini awalnya adalah bunker penyimpanan senjata di era kolonial. Kini, bangunan tersebut difungsikan sebagai balai pengobatan yang tetap kokoh berdiri dengan struktur kayu kuat.

Selain itu, ada Klenteng Boen Bio yang menjadi ikon kampung ini. Klenteng ini adalah satu-satunya tempat ibadah Konghucu di Surabaya dan merupakan situs cagar budaya. Desain klenteng ini memadukan unsur budaya Tiongkok, Belanda, dan Jawa, menjadikannya unik dan penuh sejarah.

Klenteng Boen Bio: Warisan Budaya Konghucu

Klenteng Boen Bio bukan sekadar tempat ibadah. Adapun Klenteng ini memiliki filosofi yang mendalam dalam ajaran Konghucu. Menurut Lin Tiong Yang, seorang rohaniwan Konghucu, klenteng ini berbeda dari klenteng lain karena hanya diperuntukkan untuk agama Konghucu, tidak seperti klenteng Tri Dharma. Klenteng ini juga tidak menggunakan patung dewa dalam peribadatan. Sebagai gantinya, mereka menggunakan papan suci dengan ajaran delapan kebajikan. Keunikan desain klenteng ini juga menarik perhatian karena menggabungkan budaya Belanda, Tiongkok, dan Jawa dalam satu bangunan.

***

Penulis : Robithoh Dwi Arini

Pembimbing : Tiara Kusumaningtiyas

Program Studi : D3 Perpustakaan

Editor : Oky Sapto Mugi Saputro – Tim Branding Fakultas Vokasi UNAIR