VOKASI NEWS – SP2DK merupakan bentuk pengawasan aktif Direktorat Jenderal Pajak untuk menjaga kepatuhan. Simak bagaimana PT M menanggapi SP2DK dan pelajaran yang bisa diambil oleh entitas bisnis lainnya.
Mengenal Fungsi SP2DK dalam Pengawasan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada Wajib Pajak. Penerbitan surat ini dilakukan apabila ditemukan indikasi ketidaksesuaian data atau potensi ketidakpatuhan dalam pelaporan kewajiban perpajakan. SP2DK menjadi salah satu instrumen pengawasan aktif yang digunakan DJP untuk memastikan akurasi dan kepatuhan pelaporan pajak oleh entitas bisnis.
Pada tahun 2024, PT M—perusahaan di sektor industri mineral—menerima SP2DK dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Surat tersebut diterbitkan setelah ditemukan selisih antara nilai peredaran usaha yang dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan nilai penyerahan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tahun Pajak 2020. Selisih tersebut mencapai Rp3.567.493.079, nilai yang cukup signifikan dalam konteks fiskal.
Berdasarkan penelaahan internal perusahaan, selisih tersebut terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan pendapatan antara sistem akuntansi komersial dan ketentuan fiskal. Selain itu, beberapa transaksi penyerahan barang belum sepenuhnya tercermin dalam SPT Tahunan PPh Badan, meskipun telah tercatat dalam SPT Masa PPN. Kondisi ini menyebabkan koreksi fiskal positif terhadap peredaran usaha, yang berdampak pada pengurangan jumlah kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan di tahun-tahun pajak berikutnya.
Langkah Responsif Perusahaan dan Pentingnya Kepatuhan Data
Menanggapi SP2DK tersebut, PT M segera menyusun klarifikasi tertulis yang disampaikan kepada KPP. Klarifikasi tersebut dilengkapi rekonsiliasi data internal serta dokumen pendukung yang relevan. Perusahaan juga melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Badan sebagai bentuk perbaikan atas laporan sebelumnya. Langkah cepat dan tepat ini mencerminkan komitmen perusahaan terhadap integritas pelaporan serta kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan.
Kasus ini menjadi pengingat bagi entitas bisnis lain mengenai pentingnya sinkronisasi data komersial dan fiskal. Ketidaksesuaian dalam pencatatan transaksi atau ketidaktelitian dalam pelaporan berpotensi menimbulkan koreksi administratif hingga pemeriksaan pajak. Untuk menghindarinya, perusahaan disarankan rutin melakukan audit internal dan rekonsiliasi data, serta melibatkan konsultan pajak bila diperlukan.
[BACA JUGA: Penyelesaian SP2DK: Studi Kasus Selisih PPh Pasal 23 dengan Faktur Pajak Masukan pada PT A]
SP2DK sejatinya bukan bentuk sanksi, melainkan peringatan dini yang memberikan ruang klarifikasi kepada Wajib Pajak sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut. Tanggapan yang cepat, akurat, dan didukung bukti sah dapat mencegah munculnya sengketa fiskal dan menjaga hubungan baik dengan otoritas pajak. Dengan menerapkan transparansi dan tanggung jawab, entitas bisnis turut membangun sistem perpajakan yang sehat dan berkelanjutan.
***
Penulis: Rekha Fitria Nur Maharani
Editor: Fatikah Rachmadianty