VOKASI NEWS – Pendekatan inovatif seperti video storytelling, dapat membantu menarik minat generasi muda terhadap sejarah Stasiun Gubeng. Dengan mengintegrasikan komponen visual, animasi, narasi, dan musik, video storytelling dapat menciptakan pengalaman yang imersif dan emosional. Kisah perjalanan stasiun dapat digambarkan secara dinamis, menggambarkan suasana masa lalu serta peran penting stasiun dalam pertumbuhan kota. Stasiun kereta api di Indonesia yang sebagian besar merupakan situs warisan budaya, memiliki potensi yang lebih besar untuk berkembang ke arah wisata edukasi yang berpusat pada masa lalu negara ini.
Stasiun Gubeng (SGU) merupakan stasiun utama dan terbesar yang ada di Kota Surabaya maupun Jawa Timur. SGU menyediakan perjalanan jarak jauh antar kota dan kereta commuter line dengan jalur Surabaya-Sidoarjo. Stasiun Gubeng yang terletak di jantung kota Surabaya, Jawa Timur. Berlokasi di Pacar Keling, Tambaksari, Surabaya, stasiun ini menjadi bagian dari Kereta Api Indonesia Daerah Operasi VIII Surabaya dan KAI Commuter. Stasiun Gubeng didirikan pada tanggal 16 Mei 1878, yang merupakan salah satu stasiun kereta api milik Staatsspoorwegen.
Sejarah Stasiun Gubeng Surabaya
Stasiun ini pertama kali dibangun sebagai bagian dari proyek pembangunan jalur kereta api Surabaya-Pasuruan di sisi barat. Bangunan ini merupakan representasi dari mobilitas masyarakat dan pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa selain sebagai pusat transit. Sejarah Stasiun Gubeng sangat erat kaitannya dengan pembangunan jaringan kereta api di Indonesia. Sejarahnya dimulai pada masa kolonial dan dimaksudkan untuk membantu usaha militer dan komersial. Meski begitu, bangunan lama stasiun juga pernah dilakukan renovasi beberapa kali. Di antaranya adalah renovasi kanopi peron pada tahun 1905 dan lobi bangunan utama pada tahun 1928.
Stasiun Surabaya Gubeng telah mengalami beberapa kali perubahan sejak pertama kali dibuka pada tanggal 16 Mei 1878, sebagai bagian dari proyek pembangunan jalur kereta api Surabaya-Pasuruan oleh Staatsspoorwegen. Sistem stasiun ini menggunakan sistem persinyalan elektrik sejak tahun 1970-an hingga 1980-an setelah sebelumnya menggunakan sistem persinyalan mekanik. Stasiun ini mengalami perubahan yang signifikan pada tanggal 7 Juni 1996, ketika bangunan baru yang lebih besar dan kontemporer dibangun di sisi timur rel kereta api dengan biaya sekitar Rp1,5 miliar.
Gaya bangunan stasiun ini adalah ciri khas dari SS, yaitu bergaya Chalet, sebuah gaya arsitektur yang memiliki ciri khas tembok tinggi. Selain itu juga terdapat ornamen sulur-suluran dari besi tempa di atapnya, serta jendela besar dengan jalusi besi. Pemerintah Kota Surabaya menetapkan bangunan stasiun bersejarah ini sebagai cagar budaya. Berdasarkan SK Walikota Surabaya No. 188.45/251/402.1.04/1996,26-09-1996 dan SK Menbudpar No: PM. 23/PW.007/MKP/2007 pada 26 Maret 2007, pemerintah Kota Surabaya menetapkan bangunan lama Stasiun Gubeng sebagai cagar budaya.
Pelayanan Kereta Api Stasiun Gubeng
Stasiun Surabaya Gubeng Baru merupakan stasiun yang melayani kereta api kelas eksekutif dan bisnis dengan tujuan Banyuwangi, Bandung, dan Jakarta. Warga Surabaya lebih terbiasa menggunakan bangunan baru karena memberikan akses yang lebih mudah dan fasilitas yang lebih lengkap. Kurangnya penggunaan dan pertimbangan akan makna historis dari bangunan-bangunan tersebut menunjukkan ketidaktahuan penduduk setempat akan bangunan-bangunan yang lebih tua dan bersejarah.
Hal ini merupakan cerminan dari pergeseran sikap dan selera konsumen yang lebih mengutamakan aksesibilitas dan kenyamanan. Mayoritas pengguna layanan kereta api lebih terbiasa menggunakan pintu masuk bangunan yang lebih baru, yang menyediakan berbagai fasilitas kontemporer seperti layanan informasi yang lebih komprehensif, berbagai kelas eksekutif dan bisnis yang memberikan kursi yang nyaman dan lebih modern, ruang tunggu yang nyaman serta terdapat banyak tenant makanan dan coffee shop dan aksesibilitas yang lebih baik.
Di sisi lain, terlepas dari keindahan arsitektur dan nilai historisnya yang khas, bangunan-bangunan tua seringkali terabaikan. Hal ini menunjukkan adanya perubahan selera masyarakat, di mana aksesibilitas dan kenyamanan menjadi prioritas utama, yang seringkali mengorbankan nilai-nilai tradisional. Kurangnya pengenalan terhadap bangunan bersejarah dapat berdampak pada pelestarian aset budaya dan kemungkinan pertumbuhan lingkungan sebagai tujuan wisata sejarah dan pendidikan.
BACA JUGA: [Menjalin Profesionalisme Lewat Magang Di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Timur]
***
Penulis: Charissa Salsabilla Rahmania Putri
Editor: Oky Sapto Mugi Saputro