Gaya Hidup Sedenter Menjadi Ancaman Tersembunyi Terhadap Fungsional Leher Mahasiswa

Gaya Hidup Sedenter Menjadi Ancaman Tersembunyi Terhadap Fungsional Leher Mahasiswa_Dokumen Istimewa

VOKASI NEWS – Mengetahui gaya hidup sedenter dengan durasi duduk panjang pada mahasiswa meningkatkan risiko gangguan muskuloskeletal, terutama nyeri leher.

Sebagai kelompok usia produktif, mahasiswa dituntut untuk menjalani berbagai aktivitas akademik yang bertujuan untuk bekal kompetensi untuk masa depan. Proses ini sering kali melibatkan jadwal perkuliahan yang padat dengan durasi duduk yang panjang. Bahkan, penelitian sebelumnya menyatakan bahwa waktu duduk yang dihabiskan oleh mahasiswa ternyata lebih dari sembilan jam per hari. Hal tersebut meliputi kegiatan perkuliahan, aktivitas rekreasional yang melibatkan penggunaan perangkat elektronik, atau aktivitas fungsional lainnya. Namun, durasi duduk yang panjang tersebut diketahui dapat meningkatkan risiko gaya hidup sedenter yang memiliki banyak dampak buruk terhadap kesehatan (Castro et al., 2020).

Apa itu Gaya Hidup Sedenter?

Gaya hidup sedenter didefinisikan sebagai suatu gaya hidup yang kurang melakukan aktivitas fisik dalam sehari-hari. Gaya hidup ini diketahui telah menjadi salah satu permasalahan kesehatan global (Magnon et al., 2018). Istilah sedenter sendiri berasal dari bahasa Latin “sedere” yang artinya “duduk”. Gaya hidup ini melibatkan seluruh kegiatan yang dilakukan dalam posisi statis (baik saat duduk, berbaring, ataupun bersandar), durasi yang panjang, serta postur yang tidak ergonomis. Dalam penilaiannya, gaya hidup sedenter dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Hal ini dilihat berdasarkan akumulasi waktu untuk melakukan aktivitas yang dinilai sebagai aktivitas sedenter dalam waktu seminggu (Rosenberg et al., 2010).

BACA JUGA: [Menghidupkan Kembali Heroisme Surabaya Melalui Event Drama Kolosal Perobekan Bendera ]

Apa Dampaknya Bagi Kesehatan?

Salah satu dampak gaya hidup sedenter adalah menyebabkan terjadinya gangguan muskuloskeletal. Misalnya nyeri leher yang menjadi masalah kesehatan global dengan prevalensi tinggi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2017, dilaporkan kasus nyeri leher mempunyai prevalensi kejadian sebesar 288,7 juta di seluruh dunia (Safitri et al., 2020). Kemudian, di Indonesia persentase kejadian nyeri leher dilaporkan mencapai 46,5%. Sebanyak 16,6% dari total populasi dewasa dilaporkan mengeluhkan nyeri leher tiap tahunnya (Deviandri & Ismiarto, 2021). 

Hal ini terjadi karena kebiasaan duduk dalam jangka waktu panjang, terutama dengan postur yang tidak ergonomis, berisiko menimbulkan ketegangan otot leher, kekakuan sendi, serta nyeri kronis. Jika terjadi secara terus-menerus, kondisi ini pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan kemampuan fungsional leher.

Kemampuan fungsional leher sendiri didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menggerakkan lehernya ke segala arah secara optimal tanpa menimbulkan nyeri atau keterbatasan (Lee et al., 2020). Lebih jauh lagi, WHO menyatakan bahwa kemampuan fungsional leher juga berkaitan erat dengan kualitas hidup seseorang . Hal tersebut karena mencakup aspek fisik, psikologis, dan sosial (WHO, 2020). 

Kemampuan fungsional leher berperan aktif dalam mendukung hampir seluruh aktivitas sehari-hari yang membutuhkan gerakan menoleh, menunduk, menengadah, dan memutar kepala. Oleh karena itu, apabila mengalami penurunan, kondisi ini dapat mengganggu produktivitas dan mengurangi kualitas hidup secara keseluruhan. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi disfungsi jangka panjang yang membutuhkan penanganan medis lebih lanjut.

Lalu, Bagaimana Cara Menghindarinya?

Mengingat dampak buruk yang cukup signifikan untuk kesehatan, maka perlu adanya tindakan preventif untuk mengurangi gaya hidup sedenter. Salah satu cara efektif yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023) menganjurkan untuk melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit per hari. Contohnya seperti berjalan cepat atau bersepeda untuk mengurangi risiko gaya hidup sedenter. 

Selain itu, melakukan peregangan secara berkala setiap 30–60 menit ketika melakukan aktivitas duduk statis dalam waktu yang lama juga direkomendasikan untuk mencegah terjadinya gangguan kemampuan fungsional leher. Tak kalah penting, pengaturan postur tubuh dan lingkungan kerja yang ergonomis juga perlu diperhatikan untuk mengurangi penekanan maupun beban berlebih pada leher dan punggung. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, mahasiswa diharapkan dapat menjaga fungsional tubuhnya tetap optimal dan terhindar dari risiko penyakit maupun disfungsi muskuloskeletal lainnya.

***

Penulis: Ilham Umar

Editor: Oky Sapto Mugi Saputro