Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada Sapi Potong di Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada Sapi Potong di Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk_Dokumen Istimewa

VOKASI NEWS – Kecamatan Rejoso mengungkap faktor utama yang memengaruhi kerentanan sapi terhadap PMK, dengan angka kejadian yang berhasil ditekan hingga di bawah 1%.

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) masih menjadi ancaman serius dalam dunia peternakan, terutama pada sapi potong. Meskipun tidak menular ke manusia, penyakit ini bersifat sangat infeksius dan berdampak signifikan terhadap produktivitas peternakan. Penyebaran virus dari genus Apthovirus ini diperparah oleh lalu lintas ternak yang tidak terpantau, kebersihan kandang yang minim, serta lemahnya perhatian terhadap kesehatan hewan.

Namun, kondisi berbeda tercatat di Kecamatan Rejoso. Selama periode Januari hingga Desember 2024, angka kejadian PMK tercatat hanya sebesar 0,91%, termasuk kategori rendah. Capaian ini tak lepas dari kombinasi penanganan teknis yang efektif dan kesadaran peternak dalam menerapkan biosecurity.

Sapi Limousin dan Betina Lebih Rentan

Studi kasus di wilayah Rejoso menunjukkan bahwa tidak semua jenis sapi memiliki kerentanan yang sama terhadap virus PMK. Dari sisi spesies, sapi Limousin menunjukkan tingkat infeksi tertinggi, yakni 81% dari kasus yang tercatat, lebih tinggi dibanding sapi Simmental yang memiliki antibodi lebih kuat.

Dari segi umur, sapi dewasa berusia di atas 24 bulan menjadi kelompok paling rentan, dengan proporsi 89% dari seluruh kejadian. Hal ini berkaitan dengan masa pemeliharaan yang lebih panjang, sehingga potensi terpapar virus juga meningkat seiring waktu. Sementara itu, dari sisi jenis kelamin, sapi betina tercatat lebih banyak terinfeksi dengan persentase 64%. Faktor stres fisiologis seperti masa bunting, melahirkan, dan laktasi disebut sebagai penyebab turunnya imunitas, yang membuat betina lebih mudah terinfeksi.

Kolaborasi Jadi Kunci Penanggulangan

Keberhasilan Rejoso menekan angka PMK tidak hanya ditentukan oleh faktor teknis seperti ketersediaan vaksin, pengobatan yang tepat, dan penerapan biosecurity. Di balik itu, peran aktif peternak dalam menjaga kebersihan kandang dan memahami pentingnya vaksinasi juga memegang peranan penting.

Selain itu, kerja sama antara peternak, dinas peternakan, dan lembaga terkait menjadi fondasi utama dalam mencegah meluasnya wabah. Pendekatan yang terintegrasi inilah yang membantu menekan penyebaran PMK dan menjaga produktivitas peternakan lokal.

Langkah ini bisa menjadi contoh bagi wilayah lain, bahwa pengendalian PMK bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi membutuhkan sinergi dari semua pihak. Dengan menjaga kesehatan hewan ternak secara konsisten dan kolaboratif, sektor peternakan dapat terus berkembang meski menghadapi tantangan penyakit menular.

[BACA JUGA: Kegiatan Magang Mandiri di Klinik Hewan Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Sidoarjo]

***

Penulis: Margaretha Eka Wulandari

Editor: Habibah Khaliyah